Jumat, 04 Maret 2022

“Sêngit ndulit, gêthing nyanding”


Begitulah tutur para sesepuh jawa yang jika diartikan artinya "yang benci akan mencicipi, yang anti akan menyanding."


Dalam ajaran islam-pun dilarang bagi umatnya mencela seorang pendosa, karena si pencela telah takabbur seakan dirinya telah terbebas dari berbagai macam dosa. Batas yang diperbolehkan hanya mengingkari suatu dosa yang diperbuat, bukan mencela pelakunya.

Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

“Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali (ikut) mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2505)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,


وَكُلُّ مَعْصِيَةٍ عُيِّرَتْ بِهَا أَخَاكَ فَهِيَ إِلَيْكَ يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيْدَ بِهِ أَنَّهَا صَائِرَةٌ إِلَيْكَ وَلاَ بُدَّ أَنْ تَعْمَلَهَا

“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin, 1: 176)


Ada suatu kisah pada kurun waktu Abad ke-2 Hijriyah di kota Baghdad dimana saat itu Baghdad merupakan pusat Ahlul-Haqq. Diantara sekian banyak Ahlul-Haqq, ada satu ulama yang memiliki tiga puluh khanqah (tempat suluk) di Baghdad. Selain itu beliau adalah seorang ulama dan muhaddits terkenal yang dikatakan bahwa jumlah muridnya adalah 12.000 orang. Beliau hafal 30.000 hadits, dan bisa membaca Al-Qur'an di semua tujuh "wajhul qiraa'aat" (wajah-wajah bacaan al-Qur'an). Beliau bernama Syekh Abu Abdullah Al - Andalusi (Spanyol).


Pada suatu kesempatan, beliau sedang melakukan perjalanan dan ditemani oleh sekelompok besar murid di antaranya adalah Sufi agung Junayd Baghdadi (ra) dan Shibli (ra) yang terkenal. Hadrat Shibli (ra) melanjutkan ceritanya: “Kafilah kami berjalan dengan cukup baik, aman dan nyaman sampai kami melewati daerah tempat tinggal orang nasrani. Waktu shalat memang sudah masuk, tapi karena tidak tersedianya air, kami belum melaksanakannya. Ketika kami sampai di desa nasrani, pencarian dilakukan untuk mencari air. Kami berkeliling desa dan menemukan bahwa kota itu memiliki banyak kuil, altar pemujaan matahari, sinagog, dan gereja. Beberapa dari mereka menyembah matahari, beberapa menyembah api, dan beberapa mengarahkan permohonan mereka di kayu salib. Kami melewati semua ini dan mencapai pinggiran kota, di mana kami menemukan sebuah sumur dan beberapa gadis mengambil air untuk diminum orang-orang.”

Mata Syekh Abu Abdullah (ra) tertuju pada salah satu gadis yang mempunyai kecantikan yang luar biasa. Dia mengenakan pakaian yang indah dan dihiasi dengan perhiasan. Syekh Abu Abdullah (ra) bertanya kepada gadis-gadis lain siapa dia. Mereka menjawab: "Ini adalah putri pemimpin kami". Syekh (ra) bertanya kembali: “Lalu mengapa ayahnya merendahkannya sedemikian rupa sehingga dia harus duduk di dekat sumur dan memberi orang air minum?”


Gadis-gadis itu menjawab: “Ya, ayahnya memiliki orang-orang bayaran. Tetapi ayahnya seorang yang sangat pintar. Dia tidak mau anak gadisnya duduk bersenang - senang dan merasa bangga dan congkak dengan segala kemewahan harta miliknya, dikhawatirkan dengan itu dia nanti akan menjatuhkan martabat ayahnya. Ayahnya tidak mau setelah perkawinannya nanti, anak gadisnya gagal melaksanakan tanggungjawab untuk menjaga keperluan suaminya akibat terlalu dimanjakan”.

Hadrat Shibli (ra) mengatakan: “Syekh Abu Abdullah (ra) duduk di atas tanah dengan wajahnya ke bawah, dan Beliau (ra) terdiam dalam keadaan seperti itu selama hampir tiga hari tanpa makan dan minum serta berbicara dengan siapapun. Pada saat shalat dia akan melakukan shalatnya.” Pada hari ketiga menjadi sedih dengan situasinya, aku memutuskan untuk berbicara dengannya. Aku berkata: “Wahai Syekh, murid-muridmu sangat khawatir dan bingung dengan keheninganmu yang terus berlanjut ini. Silakan berbicara dengan kami. Apa masalahnya?"

Syekh Abu Abdullah (ra) menjawab: “Teman-temanku tercinta! Berapa lama aku bisa menyembunyikan kondisi ini dari kalian? Hatiku telah dipenuhi dengan cinta untuk gadis yang kita lihat kemarin. Begitu hebat sekali cinta ini menguasai jiwaku, sehingga menguasai seluruh urat dagingku. Tidak mungkin bagiku dalam keadaan apa pun untuk pergi dari sini. ” Hadrat Shibli (ra) menjawab: “Wahai Mursyidku! Engkau adalah pembimbing spiritual seluruh Irak. Engkau dikenal karena kesalehan, pengetahuan, dan kebajikan serta murid berjumlah lebih dari 12.000 orang. Aku mohon kepada Engkau melalui Al-Qur'an untuk tidak mempermalukan kami." Syekh Abu Abdullah (ra) menjawab: “Teman-temanku tercinta, nasibmu dan nasibku kini telah disegel oleh takdir. Jubah kesucian telah dicabut dariku dan tanda-tanda petunjuk telah dicabut dariku. Apa yang telah ditakdirkan telah terjadi, sekarang aku bukan apa-apa.” Mengatakan ini, Syekh Abu Abdullah (ra) mulai menangis dengan sedih.

Ketika orang-orang mendengar tentang kepulangan kami, mereka muncul dalam jumlah besar di pinggiran kota untuk datang dan menemui Syekh Abu Abdullah (ra). Mereka melihat bahwa dia tidak bersama kami dan masyarakat mulai bertanya tentang hal itu. Kami memberi tahu mereka seluruh cerita. Mereka sangat sedih dan menangis. Banyak yang jatuh dalam doa memohon kepada Allah untuk membimbing Syekh Abu Abdullah (ra) ke jalan yang benar dan mengembalikannya ke posisi semula. Sementara itu semua khanqah ditutup. Kami masih membicarakan tentang tragedi Syekh satu tahun kemudian ketika kami memutuskan untuk mengunjungi kota itu lagi dan mencari tahu bagaimana keadaannya. Sekelompok dari kami berangkat dan setelah bertanya diberitahu bahwa dia berada di hutan menjaga babi. Kami berkata: “Ya Allah lindungilah dia (ra)! Apa yang telah terjadi? Penduduk desa memberi tahu kami bahwa dia telah melamar putri kepala desa. Ayah gadis itu telah menerima lamaran itu dengan syarat dia akan memelihara babi-babi itu.”

“Dengan air mata mengalir, kami pergi ke hutan tempat dia memelihara babi. Kami melihatnya memakai topi nasrani dengan seutas manik-manik suci di lehernya dan pada pinggang beliau (ra) terikat zunnar (kain tanda untuk orang dzimmi). Dia berdiri bersandar pada tongkat ketika dia melihat babi-babi itu, berdiri dengan cara yang sama seperti dia berdiri ketika dia biasa menyampaikan khutbah untuk kami. Syekh (ra) yang biasanya mampu menatap dalam hati sanubari kami, kini yang kami lihat hanya tertuju menatap babi. Ini seperti mengoleskan garam ke luka kami yang terbuka.”

Ketika dia melihat kami datang ke arahnya, dia (ra) menundukkan kepalanya karena malu. Kami mendekat dan mengucapkan "Assalamu'alaikum." Dia menjawab: “Walaikumus-salaam”. Kemudian Hadrat Shibli (ra) bertanya: “Wahai Syekh, terlepas dari pengetahuan dan kebajikanmu, apa yang telah terjadi pada Engkau?” Syekh Abu Abdullah(ra) menjawab: “Saudara-saudaraku! Aku saat ini tidak lagi didorong oleh pilihan dan keinginanku sendiri. Apapun yang Allah kehendaki untukku, Dia telah melakukannya kepadaku. Setelah membawaku begitu dekat ke pintu-Nya, Dia sekarang telah melemparkanku sangat jauh dari-Nya. Siapakah yang dapat membatalkan ketetapan Allah? Wahai saudara-saudaraku, bertakwalah terhadap kekuasaan dan murka Allah. Jangan sekali-kali sombong dan angkuh tentang ilmu dan keutamaan-Mu." Kemudian sambil menoleh ke langit ia berkata: "Ya Tuhanku, aku tidak pernah menyangka bahwa Engkau akan membuatku begitu hina dan hina dan mengusirku dari pintu-Mu." Kemudian dia mulai menangis dengan getir dan memohon kepada Allah.

Kemudian Hadrat Shibli mulai menangis dan berdoa, "Wahai Tuhan yang memelihara kami, hanya kepada-Mu-lah kami memohon bantuan dan pertolongan dan hanya kepada-Mu-lah kami bergantung. Jauhkan kami dari musibah ini karena tidak ada siapapun yang mampu menjauhkannya selain Engkau." Mendengar tangisan dan suara mereka yang sayu ini, segerombolan babi pun berkumpul menghampiri mereka dan juga turut menangis dan meratap.

Hadrat Shibli (ra) bertanya lagi, "Wahai Syekh, Tuan dulunya seorang hafidz hingga mampu membaca qira'ah sab'ah. Apakah Tuan masih bisa mengingat apa - apa mengenai Al-Qur'an? Lalu Syekh Abu Abdullah (ra) menjawab, "Wahai sahabatku, aku tidak mampu mengingat ayat Qur'an selain 2 ayat saja.

Ayat yang pertama adalah;


۩ وَمَن يُهِنِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِن مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَآءُ ........

".......Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki."

( Surat Al-Hajj ayat 18).

Ayat yang kedua adalah;


وَمَن يَتَبَدَّلِ ٱلْكُفْرَ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ ضَلَّ سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ......

"Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus."

Hadrat Shibli (ra) bertanya lagi, "Wahai Syekh, Tuan dulunya mampu membaca 30.000 hadits bersama sanadnya secara hafalan. Adakah Tuan masih mengingatnya lagi? Lalu Syekh Abu Abdullah (ra) menjawab, "Hanya satu hadits yang masih aku ingat yaitu,


مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

”Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR. Bukhari 3017, Nasa'i 4059, dan yang lainnya)

Melihat keadaan ini, lalu kami meninggalkan beliau (ra) disana dan pulang kembali ke baghdad.

Setelah tiga kali persinggahan dalam perjalanan, pada hari ketiga tiba - tiba kami melihat Syekh Abu Abdullah Al Andalusi (ra) di hadapan kami. Beliau selesai mandi di bantaran sungai lalu keluar dan dengan suara yang kuat, beliau mengucap syahadat,


أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ


Syekh (ra) mendekati mereka lalu berkata: “Berikan kepadaku sepasang pakaian yang bersih untuk dipakai!”

Syekh (ra) pun mengenakan pakaian bersih itu dan mulai mendirikan sholat. sambil kami menunggu dengan rasa tidak sabar hendak mendengar kisahnya. Hanya setelah beliau mendirikan sholat saja kami dapat mendengar kisahnya. Beliau berpaling kepada kami dan kami pun berkata: “Segala puji bagi Allah, Dia yang telah mengembalikan tuan kepada kami dan Dia yang melengkapi semula jemaah kita setelah terpecah. Tetapi, kabarkanlah kepada kami, bagaimana walaupun kami merayu kepada tuan supaya kembali kepada kami, tuan berkeras menolaknya dan sekarang tuan kembali.”

Syekh (ra) pun mula bercerita: “Sahabatku, saat kalian semua meninggalkanku, aku terjatuh dan aku bermunajat kepada Allah supaya menyelamatkanku daripada musibah itu. Aku merayu: Wahai Tuhan, aku lah hamba-Mu yang berdosa. Allah Tuhan yang mendengar doa-doa, akhirnya menerima rayuanku dan membersihkan segala dosaku”. Selepas itu kami bertanya kepada Beliau (ra), "Apa yang sebenarnya terjadi sehingga Tuan mendapat ujian seperti ini?"

Syekh Abu Abdullah (ra) menjawab, "Saat kita tiba di perkampungan itu, melihat gereja dan kuil,  serta melihat penyembah api dan penyembah salib itu sibuk menyembah benda-benda selain Allah, ada sejenis perasaan bangga menguasai diriku bahwa kita semua menyembah Allah yang satu. Aku berpikir, orang-orang bodoh ini sebagai orang yang celaka dan orang dungu yang jahil karena menyembah benda yang tidak memiliki nyawa dan akal. Pada ketika itu, aku mendengar suatu suara membisikkan kepada hatiku: “Iman yang ada padamu ini bukan karena dari kemuliaanmu atau sifat-sifat baikmu. Semua hanyalah nikmat kami ke atas dirimu. Jangan kamu menanggap iman kamu datang dari pilihan kamu sendiri, sehingga kamu dapat memandang manusia ini dengan pandangan yang menghina. Dan sekiranya itu yang kamu mau, Kami akan mengujimu sekarang”. Ketika itu, aku merasakan seperti seekor merpati putih telah meninggalkan hatiku dan terbang pergi. Sebenarnya, itulah dia imanku.”

Hadrat Shibli menyatakan: “Setelah itu, rombongan kami pun tiba di Baghdad dengan penuh kegirangan. Semua murid beliau sangat gembira bahwa Syekh (ra) telah kembali kepada Islam. Semua khanqah telah dibuka kembali. Raja yang memerintah negeri pada ketika itu datang dan membawakan beberapa hadiah.


Sekali lagi, Syekh (ra) meneruskan pekerjaan yang sebelumnya. Beliau kembali mengajar Hadits, tafsir dan sebagainya, dan menyibukkan dirinya dengan melayani umat. Allah mengembalikan semula semua khazanah ilmunya. Bahkan, pengetahuannya sekarang telah bercampur dengan hikmah yang lebih mendalam dan menjadi lebih hebat dari sebelumnya. Dalam masa yang begitu singkat, jumlah anak muridnya mncapai 40,000 orang.

Suatu hari, selepas solat Fajar, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah. Saat pintu rumah dibuka, ada seseorang yang berpakaian serba hitam sedang berdiri di situ.

Hadrat Shibli bertanya kepadanya, “Siapa kamu ini? Dari mana kamu datang dan apa tujuan kamu kemari?”

Orang itu berkata, “Beritahu kepada syekhmu bahwa perempuan yang telah ditinggalkannya di perkampungan itu ingin menemuinya. Aku berkhidmat untuknya.”

Hadrat Shibli berkata, “Aku pergi menemui Syekh (ra) dan memberitahunya sebagai mana yang diminta. Saat beliau mendengar tentang perempuan itu, beliau terkejut dan wajahnya berubah menjadi pucat dalam ketakutan, dan beliau mulai menggeletar. Hanya beberapa ketika setelah itu barulah dia membolehkan gadis itu masuk."

Saat gadis itu melihat Syekh (ra), dia mulai menangis begitu hebat sekali hingga dia tidak dapat berkata apa-apa.

Syekh (ra) bertanya, “Kenapa kamu datang ke mari hari ini? Siapa yang memberitahu kamu cara untuk sampai ke sini?”

Gadis itu menjawab, “Tuanku, saat tuan pergi meninggalkan kampung, aku mengetahui berita itu, hanya saja hatiku yang mengetahui betapa sedih dan menderita yang aku rasa. Aku tidak ada selera makan atau minum dan tidak ada rasa lapar, haus yang merisaukan aku. Aku berada dalam keadaan yang sangat kecewa, sedih dan tertekan. Ketika aku berbaring malam itu, aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku melihat seseorang memberitahu aku, “Jika kamu ingin memasuki tingkatan wanita yang beriman, maka kamu harus meninggalkan penyembahan kepada berhala, ikut petunjuk Syekh (ra), bertaubat dari agamamu dan masuk ke dalam agama Syekh (ra)."

Aku bertanya kepada lelaki yang memberitahuku dalam mimpi itu, “Agama apakah yang dianut Syekh itu?”

Lelaki itu menjawab: “Islam."

Aku bertanya: “Apa Islam itu?”

Lelaki itu menjawab: “Ia mengakui dengan lidah dan hati bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.”

Aku pun berkata, “Baiklah kalau begitu, tapi bagaimana aku bisa menemui Syekh (ra)?”

Lelaki itu berkata, “Tutup mata kamu dan letakkan tanganmu di atas tanganku.”

Aku berkata: “Baiklah. (aku pun meletakkan tanganku di atas tangannya. Dia membawaku beberapa saat dan kemudian menyuruhku membuka mataku. Ketika aku membuka mataku, aku mendapati diriku berada di sungai Dajlah (Sungai Tigris yang mengalir di Baghdad), aku agak terperanjat untuk berada di satu tempat yang begitu jauh dalam masa yang sebegitu singkat.”

Lelaki itu menunjukkan arah ke rumah tuan dan memberitahuku, “Di situ ada rumah Syekh (ra). Pergi ke sana dan beritahu dia bahwa saudaranya, (Nabi) Khidr as., mengirimkan salam.”

Kata gadis itu, “Aku telah tiba di sini melalui arah itu. Sekarang aku berada dalam khidmat tuan. Sudilah tuan menunjukkan aku kepada Islam.”

Syekh (ra) menjadikan gadis itu seorang Muslim dan membolehkan dia tinggal dekat dengannya di dalam sebuah rumah yang dikhususkan untuk dirinya beribadah. Setelah menerima Islam, dia menyibukkan dirinya dengan ibadah, menyibukkan diri dengan berpuasa dan menghabiskan malamnya dengan solat. Oleh karena terlalu kuat beribadah, dia kehilangan begitu banyak berat badan, tubuhnya menjadi lemah dan kurus hingga yang tinggal hanyalah kulit dan tulang saja. Akhirnya, dia jatuh sakit hingga sakitnya hampir membawa kepada maut. Permintaanya yang terakhir adalah untuk menemui Syekh (ra) karena semenjak dia memasuki Islam, mereka berdua tidak pernah bertatap mata. Dia meminta Syekh (ra) untuk datang bertemu dengannya untuk kali terakhir sebelum dia pergi.

Apabila Syekh (ra) mendengar keadaannya, beliau bergegas menuju ke perbaringannya. Saat Syekh (ra) memasukinya, mata gadis itu penuh dengan air mata sehingga dia tidak dapat melihat melaluinya, dan dia telah menjadi amat lemah, hingga dia tidak dapat berbicara sepatah kata pun. Akhirnya, setelah mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang ada, satu-satunya yang dia mampu ucapkan ialah, 

“Assalamualaikum.”

Syekh (ra) berkata, “Jangan takut dan jangan bimbang. Insya-Allah, tidak lama lagi kita akan bertemu di syurga.”

Mendengar perkataan yang penuh simpati ini, dia terdiam. Tidak lama setelah itu, dia pun meninggal dunia. Kematian gadis itu menyebabkan Syekh (ra) menjadi sangat sedih, namun kehidupan Syekh (ra) sendiri tidak lama dan selepas itu, beliau pun pergi meninggalkan alam yang fana’ ini.


Dari kisah tersebut kita dapat mengambil beberapa pelajaran;

1. Jangan pernah meremehkan suatu kaum karena nikmat iman dan islam didapat bukan karena usaha, tetapi semata atas hidayah dan taufiq dari Allah swt. 

2. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah, setiap ujian pasti ada hikmah dibaliknya dan Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.


Sumber;

1. Kitab Hayaatul Hayaawan Al-Kubro karya Imam al-'Allamah Kamaluddin Muhammad bin Musa ad-Dumairi.

2. Kitab Ummul Amradh karya Syeikhul-Hadits Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandhlawi.