Kamis, 12 April 2012

Antara Ali bin Abi Thalib dan Ali bin Ma’shum


Mbah Kyai Ali Ma’shumrahimahullah terlahir dengan kecerdasan istimewa. Pada usia remaja, beliau sudah menjadi amat ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Kefashihan beliau sulit dicari tandingannya. Pada usia 18 tahun, sewaktu mondok di Termas, Pacitan, dibawah asuhan Kyai Dimyathi rahimahullah, Kyai Ali diberi hak untuk mengajar di Masjid pondok. Suatu previles yang tidak didapatkan bahkan oleh santri-santri yang jauh lebih senior. Bukan karena Kyai Ali putera seorang kyai besar (Mbah Kyai Ma’shum, Lasem). Dari segi nasab, Kyai Ali masih “kalah bobot” dibanding, misalnya, Kyai Abdul Hamid (Pasuruan) yang pada waktu itu juga mondok bareng di Termas. Previles itu diberikan sebagai pengakuan atas ke’aliman Kyai Ali. Di kemudian hari, Kyai Ali Ma’shum pun diakui sebagai kyai ahli Ilmu Tafsir paling otoritatif pada masanya.Tidak heran jika, sesudah trio pendiri Nahdlatul Ulama (Hadlratusy Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Abdul Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri Syansuri) “habis” dengan wafatnya Kyai Bisri Syansuri, semua kyai yang hadir dalam Kombes NU 1981 di Kaliurang, Yogyakarta, secara aklamasi menyetujui usul Kyai Achmad Siddiq (Jember) untuk mendaulat Kyai Ali Ma’shum sebagai Rais ‘Aam menggantikan Kyai Bisri Syansuri. Semula Mbah Ali menolak. Tapi semua kyai mendesak beliau bertubi-tubi. Dari pagi hingga malam Gus Mus menunggui di kediaman beliau di Krapyak, dengan tekad tak akan beringsut sebelum beliau menyatakan kesediaan. Dengan berlinangan air mata, Mbah Ali akhirnya menyerah.“Aku tak mau jabatan”, beliau berkata, “tapi agama melarangku menghindari tanggung jawab…”Selanjutnya, Kyai Ali Ma’shum pun menjadi patron dari gairah pembaharuan NU. Beliau pelindung utama —kalau bukan satu-satunya— anak-anak muda yang getol dengan pembaharuan, ketika gagasan-gagasan kreatif mereka memanaskan telinga kebanyakan kyai karena dianggap terlampau berani.Barangkali orang masih ingat, bagaimana Kyai As’ad Syamsul Arifin, Situbondo, suatu ketika merasa tak kuat lagi menenggang “keliaran” Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU sehingga hubungan diantara keduanya tegang luar biasa. Kyai As’ad memanggil Kyai Muhith Muzadi ke Situbondo.“Tolonglah”, beliau berujar kepada Kyai Muhith, “sampiyan ingatkan Abdurrahman itu… dia sudah kelewatan”.Kyai Muhith angkat tangan.“Kok saya to, ‘Yai” jawabnya, “mestinya kan yang sepuh-sepuh seperti panjenengan yang lebih berhak…”“Wah, saya ’dak biisa… yang bisa itu Kyai Ali Ma’sum!”Pada kesempatan lain, Kyai As’ad mengundang kyai-kyai berkumpul di Surabaya. Mbah Kyai Ali Ma’shum berhalangan, hanya mengutus Abdurrahman, seorang santri Krapyak asal Pasuruan, membawa surat beliau untuk para kyai yang hadir di Surabaya.“Kalau rapat kyai-kyai itu sudah selesai, serahkan surat ini kepada Kyai As’ad dan sampaikan bahwa saya minta surat ini dibacakan didepan majlis”. Demikian pesan Mbah Ali.

Rapat itu rupanya membahas Gus Dur dengan segala kembelingannya, sehingga akhirnya kyai-kyai sepakat untuk membuat petisi, menuntut Gus Dur mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU.Abdurrahman Pasuruan patuh, begitu rapat hendak ditutup, ia beranikan diri menyerobot kehadapan Kyai As’ad untuk menyerahkan surat titipan Mbah Ali berikut pesan beliau. Surat yang kemudian benar-benar dibaca didepan majlis itu ternyata berisi pernyataan tegas bahwa Mbah Ali menolak pemberhentian Gus Dur dari jabatannya. Kyai As’ad tak punya pilihan.“Kalau Kyai Ali Ma’shum ’dak setuju… saya ’dak berani…”Keputusan rapat pun batal.Sebagai Rais ‘Aam, walaupun hanya separuh masa bakti (1982 – 1984), Mbah Kyai Ali Ma’shum berhasil mengantarkan NU melewati masa transisi dari NU-politik ke NU-kultural. Perjalanan menuju deklarasi “Kembali ke Khittah NU 1926” pada Muktamar Situbondo (1984) berhutang sepenuhnya pada jasa kepemimpinan beliau. Itu memang bukan perjalanan yang mudah. Di tengah-tengahnya, konflik besar yang mengguncang antara kubu kyai-kyai dan kubu para politisi (Situbondo versus Cipete) harus dilalui dengan segala pahit-getirnya. Sampai-sampai seorang kyai muda berani melontarkan keluhan berbau protes ke hadapan Mbah Ali.“Selama kepemimpinan tiga Rais ‘Aam sebelumnya, NU adem-ayem, bersatu penuh harmoni”, kata kyai muda itu, “tapi setelah panjengan jadi Rais ‘Aam… kok terjadi perpecahan begini?”.Mbah Ali tersenyum bijak.“Bagus sekali kamu bertanya begitu”, ujar beliau, “pertanyaanmu itu persis yang dilontarkan orang kepada Sayyidina ‘Ali”.Maka Mbah Ali pun meriwayatkan keluhan orang kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, bahwa pada masa kepemimpinan tiga Khulafa Ar Rasyidin sebelum beliau (Saadaatina Abu Bakar, Umar ibn Al Khatthab dan ‘Utsman ibn ‘Affan radliyallahu ‘anhum) tidak terjadi perpecahan ummat seperti pada masa kekhalifahan Sayyidina ‘Ali.Bagaimana jawaban Sayyidina ‘Ali?“Pada masa beliau bertiga itu, yang dipimpin adalah orang-orang macam aku, sedangkan sekarang ini yang kupimpin adalah orang-orang macam kamu!!”

Senin, 02 April 2012

Akal dan Nafsu Menjawab



Dalam keteranganya kitab durratunasikhin, Ketika nafsu ditanya oleh Allah rabbul Izzati tentang dirinya (nafsu) “siapa kamu dan siapa Aku?” ia menjawab dengan seraya menantang “saya, ya saya – kamu ya kamu.” Nafsu tidak tahu siapa dirinya dan siapa yang menciptakanya dalam dirinya terselip rasa sombong, mempertahankan egonya dan takut kehilangan gengsinya dan tidak mau patuh terhadap perintah-Nya, bahkan dirinya merasa paling mulya dibandingkan yang lainnya. Ujian Allah juga diberikan kepada Iblis Laknatullah, di saat Allah merintahkan Iblis Laknatullah untuk bersujud kepada mahluk-Nya yang tercipta dari tanah yang hina (adam As) semua Malaikat mentaati perintahnya tuk bersujud kepadanya hanya Iblis lah yang emoh untuk bersujud kepadanya dan dia (iblis) tergolong orang-orang kafir seraya berkata “aku tercipta dari api sedangkan dia (adam) tercipta dari sebatang tanah.” dengan sombongnya dia (iblis) menegaskan dengan mudah “mulya mana antara api dengan tanah? Ya jelas mulya api” tutur iblis.

Berbeda dengan Akal ketika menerima pertanyaan yang sama, “Siapa kamu dan siapa Aku?” akal menjawabnya dengan tegas dan jujur “Ana A’bdun wa anta Rabbun.” Dengan demikian dirinya merasa mahluk yang lemah (dlo’if) tidak mempunyai reka daya dan kekuatan dan hanya sebagai seorang hamba sahaya. Hal itu sudah menjadi fitrah perbedaanya antara nafsu dengan akal. Ibarat mobil yang dikendarai dua supir yang satu pengen kearah barat yang satu pengen kearah timur jelas keduanya berkontraversi tentang tujuan mereka. Ujian itu tumbuh melekat hingga habis kontrak hidup manusia dan selama hidup di dunia yang fana ini, termasuk kita sekarang, kadang kita tidak terasa kalau disekujur badan kita ternyata di boncengi dua hal yang berlawanan tentang tujuannya antara Nafsu dengan Akal.

Semakin kuat terhadap keinginan untuk memenuhi supir kanan (akal) akan semakin kuat pula keselamatan kita dari jilatan api neraka sehingga patuh dan nurut terhadap perintah-Nya senang ibadah, gemar sodaqoh, dan tidak bosan-bosanya untuk beramal sholeh serta menjalankan Amarmakruf wannahyi a’nil mukar Maka janjinya “Tuuba liman kaana A’kluhu Amiro wahawauhu yakunu atsiro” (beruntunglah orang yang akalnya menjadi pemimpin, sedangkan nafsunya menjadi pengikutnya). Namun kalau kita pasrah menuruti keinginan supir kiri (nafsu) kita akan celaka jatuh kedalam lubangnya dan akan menjadi bala tentaranya/budaknya, selama masih memenuhi keinginanya dia (nafsu) akan selalu berbuat maksiat, durhaka dan berbuat malapetaka yang lambat laun akan menghancurkan dan membinasakan keberadaan manusia di bumi tercinta ini. apalagi pada dekade sekarang semakin mengaktualnya musibah dimuka bumi kita tercinta seperti Tsunami, gempa bumi, longsor, kebakaran hutan lahan gambut, banjir bandang melanda seluruh wilayah, hal itu terjadi karena mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita atau mungkin alam mulai enggan bersahabat dengan kita? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang kata ebiet (dalam lagunya), atau mungkin semua itu efek dari pada ulah manusianya sendiri yang rakus dan senantiasa selalu memenuhi keinginan supir kiri (nafsu) namun para teologi islam sepakat bahwa sebenarnya Jawaban itu ada pada individu setiap manusia. Manusialah yang bisa mengingat dan menengok kembali bahkan kalau bisa merubahnya karena Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum melainkan kaum itu sendirilah yang merubahnya (al qur’an).

Mari kita mengkoreksi (muhasabah annafsi) diri kita masing-masing mari kita lihat film kita yang sedang kita putar sejak kita lahir ke dunia ini adakah acting-acting kita yang perlu disensor atau sudah tidak perlu untuk disensor lagi, mumpung kita masih bisa merubahnya atau mensensornya, mampukah kita meng edit kembali acting-acting kita yang salah? Allah masih memberikan kesempatan lebar-lebar (gold occasion) untuk kita meng edit dan memperbaharuinya kembali Karena kalau kita sudah mati Allahlah yang akan mensensornya atas acting-acting kita kala hidup di dunia dan kitalah yang akan melihatnya atas amal kita waktu hidup di dunia oooh……… sungguh malunya di hadapan sang Maha Kuasa.
Dalam keteranganya (kifayatul atqiya) “Annafsu kattifli” nafsu itu ibarat seorang anak kecil yang selalu meminta minta kepada ibunya sebelum kemaunya itu terkabulkan dia tidak mungkin akan diam. (merengek) ,Misalnya anak kecil yang ingin membeli petasan namun dilarang oleh ibunya pokok sebelum petasan itu di belinya dia akan meminta supaya ibunya membelikanya setelah dibelinya dia tidak bisa untuk menyalakanya kemudian mintalah orang lain supaya menyalakanya sambil dia berkata “nanti om,,,, ku tutup dulu telingaku”, setelah usai dia berkata “gimana om keraskan bunyinya?”, berulang beberapa kali hingga habis lantas apa sih kenikmatan dari pada membeli petasan itu tidak ada yang dinikmatinya paling setelah dinyalakan bunyinya itu itu aja kok, tapi dia merasa bangga dan puas dengan bunyinya itu walaupun telinganya ditutup rapat dan orang lain yang menyalakanya.

Sama halnya keinginan (hasrat) (ego) untuk berbuat hal negatif, sebelum keinginan itu tercapai tidak mungkin akan tinggal diam dia akan berusaha sekuat tenaga untuk melakukanya walaupun itu harus menempuh banyak rintangan dan tantangan, susah payah dan tidak menghasilkan apa-apa bahkan akhirnya merugikan dirinya sendiri tetap terus akan melakukanya sampai keinginan itu tercapai tuntas dia selalu mencari kesempatan untuk mencuri kelengahan orang lain.
Hasrat Nafsu akan selalu meningkat, setelah keinginan awal terkabulkan dia akan mencoba untuk melanjutkan hasrat yang kedua, yang dikira mampu untuk di jalankannya hingga sampai keinginan terakhirnya tercapai. misalnya seorang pencuri pertama mencuri sandal si Imroatun dengan selamat besok dia berpikir lagi gimana caranya mencuri assesorisnya dengan selamat langkah kedua selamat besoknya lagi dia berpikir lagi gimana caranya mencuri Imroatunya. Itulah bujukan dan rayuannya yang aduhai manisnya.

Sungguh celaka orang yang patuh dan menuruti keinginan (hasrat) supir kiri (nafsu) jatuh dalam neraka-Nya, Ia akan merasakan jilatan api siksa-Nya. Na’udzubillahi min dzalik wa Allahumma Ba’idna min Dzalik. Makanya ada pepatah arab mengatakan “ sehebat-hebatnya manusia bukanya manusia yang pintar berkelahi hingga semua manusia kalah dengannya tapi sehebat-hebatnya manusia adalah manusia yang bisa menahan godaan hawa nafsunya (egonya). di tegaskan lagi rasulullah pernah bersabda kepada sahabatnya seusai perang badar beliau berkata
“kita telah pulang dari perang yang kecil, menuju perang yang besar! di tanya oleh salah satu sahabatnya lantas perang apa yang terbesar ya Rasulullah padahal kan kita sudah mati-matian dalam melawan musuh yang begitu besar skala jumlahnya, Rasulullah menjawab Perang melawan hawa nafsu.”

Dikuatkan lagi dengan firman Allah SWT dalam Alqur’an “dan barang siapa yang takut hatinya kepada Allah SWT (maksiat dan inkar terhadap perintah-Nya) dan menahan godaan nafsunya maka syurgalah tempat yang mulya baginya.”
Semoga kita senantiasa selalu dilindungi dan dijauhkan oleh Allah dari godaan dan rayuan hawa nafsu yang selalu meng iming-iming kita dengan manisnya kenikmatan dunia sehingga kita termasuk orang-orang selamat dan bahagia serta tergolong para penghuni syurga bersama para Ambiya, Auliya, Syuhada wassholihin ajma’in Amin..

Salah Satu Karomah Syekh Abdul Qodir Al-Jailani r.a.


Diriwayatkan bahwa Syekh Abdul Qodir pada waktu melewati suatu tempat, beliau bertemu dengan seorang umat Islam yang sedang bertengkar dan berdebat dengan seorang umat Nasrani. Beliau kemudian mendatangi kedua orang tersebut. "Ada apa gerangan hingga kalian menjadi tontonan di sekitar kalian?",tanya Syekh.
Kata seorang muslim,"Sebenarnya kami sedang membanggakan Nabi kami masing-masing, siapa diantara Nabi yang paling baik dan saya berkata kepadanya bahwa Nabi Muhammad saw yang paling utama. Sedangkan orang Nasroni mengatakan bahwa Nabi Isa yang paling sempurna".
Syekh bertanya kepada orang Nasroni,"Apa yang menjadi dasar dan apa pula dalilnya, kamu bisa mengatakan bahwa Nabi Isa lebih sempurna daripada Nabi yang lainnya?". Lalu orang Nasroni itu menjawab,"Nabi Isa mempunyai keistimewaan, beliau bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati". Syekh melanjutkan lagi pertanyaannya,"Apakah kamu tahu bahwa aku ini bukan Nabi, aku hanya sekedar penganut dan pengikut Agama Nabi Muhammad saw?". Kata orang Nasroni,"Ya benar saya tahu". Lebih jauh Syekh bertanya lagi,"Kalau sekiranya aku bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati, apakah kamu bersedia untuk percaya dan beriman kepada Agama Nabi Muhammad saw?". Baik, saya mau beriman kepada Agama Islam", jawab orang Nasroni itu. "Kalau begitu mari kita mencari kuburan, carikan saya kuburan yang paling tua dan paling angker",kata Syekh Abdul Qodir. Setelah mereka menemukan sebuah kuburan dan kebetulan kuburan itu sudah tua, sudah berusia lima ratus tahun.
Lalu dengan karomah yang beliau miliki, Syekh mendeteksi kalau kuburan yang dituju dulunya semasa hidupnya adalah penyanyi. "aku akan menghidupkan orang tersebut seperti semasa hidupnya (yaitu seorang penyanyi). Syekh mengulangi lagi pertanyaannya,"Nabi Isa kalau akan menghidupkan orang yang sudah mati bagaimana caranya?". Orang Nasroni menjawab,"Beliau cukup dengan mengucapkan,"Qum! bi-idznillah", artinya : "Bangun kamu dengan izin Allah". "Nah sekarang kamu perhatikan dan dengarkan baik-baik", kata Syekh, lalu beliau menghadap pada kuburan tadi sambil mengucapkan,"Qum! bi-idzni, artinya : "Bangun dengan izin ku". Mendengar ucapan itu orang Nasroni kaget dan heran dan kuburan itu terbelah dan bangunlah mayat dari kuburan sambil bernyanyi. Memang pada waktu hidupnya mayat itu seorang penyanyi. Melihat dan menyaksikan peristiwa yang aneh itu, seketika itu juga orang Nasroni berubah keyakinannya dan beriman masuk Agama Islam.

Minggu, 01 April 2012

Kisah Sapi Dan Kalimat Laa ilaaha ilallah








Diceritakan mbah K.H. Kholil bangkalan yang juga merupakan guru dari para wali diminta untuk membacakan tahlil untuk kerabatnya yang telah tiada oleh salah seorang santrinya. santri tersebut mempunyai 3 sapi, dia bernadzar akan memberikan sapinya yang paling gemuk untuk mbah kholil.
lalu tibalah saatnya waktu tahlilan. semua jama'ah telah berkumpul begitu juga mbah kholil."silahkan dimulai mbah",kata santri. lalu setelah mbah kholil selesai membacakan al-fatehah lalu mbah kholil berucap,"laa ilaaha ilallah". seluruh santri mengikuti bacaan tersebut. spontan mbah kholil berucap,"sampun, wasalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh. banyak santri yang terkejut begitu pula si santri tuan rumah. lalu si tuan rumah berkata heran,"lho kok sudah mbah?". mbah kholil menjawab,"lho kan saya cuma disuruh baca tahlil, ya saya baca laa ilaaha ilallah ya sudah". si santri menambahkan,"bagaimana dengan dzikiran yang lain?". mbah kholil menjawab,"lho kan saya diundang untuk seekor sapi ya saya balasnya juga yang sebanding dengan pemberian tersebut, lagipula sapimu yang gemuk itu tidak ada apa-apanya dibanding kalimat laa ilaaha ilallah". sang santri bertanya dengan nada penasaran,"lho kok bisa mbah?"."sekarang kamu timbang sapimu yang paing gemuk itu",suruh mbah kholil kepada si santri. lalu mbah kholil menuliskan kalimat laa ilaaha ilallah pada selembar daun yang kering. lalu ditimbanglah sapi yang gemuk itu dengan daun kering yang bertuliskan kalimat laa ilaaha ilallah. alangkah terkejutnya para santri ketika melihat sapinya terangkat yang membuktikan betapa beratnya kalimat laa ilaaha ilallah. lalu mbah kholil menyuruh santrinya mengambil sapinya lagi yang lain. ternyata tetap lebih berat kalimat laa ilaaha ilallah. disuruhnya lagi si santri untuk mengambil sapinya yang terakhir karena memang sapinya hanya ada 3 tetapi tetap saja masih lebih berat kalimat laa ilaaha ilallah. lalu mbah kholil berucap,"bahkan ketiga sapimu saja beratnya tidak bisa menandingi kalimat laa ilaaha ilallah, seharusnya 3 sapi saja tidak cukup untuk sebuah kalimat laa ilaaha ilallah, tapi karena kamu hanya punya 3 sapi maka 3 sapi inilah yang seharusnya bayaranku. lalu mbah kholil pamit dan membawa 3 sapi tadi pulang. sementara si santri tuan rumah tadi menyesal karena telah debat dengan mbah kholil yang menyebabkan kehilangan 3 sapinya.