Jumat, 04 Maret 2022

“Sêngit ndulit, gêthing nyanding”


Begitulah tutur para sesepuh jawa yang jika diartikan artinya "yang benci akan mencicipi, yang anti akan menyanding."


Dalam ajaran islam-pun dilarang bagi umatnya mencela seorang pendosa, karena si pencela telah takabbur seakan dirinya telah terbebas dari berbagai macam dosa. Batas yang diperbolehkan hanya mengingkari suatu dosa yang diperbuat, bukan mencela pelakunya.

Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

“Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali (ikut) mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2505)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,


وَكُلُّ مَعْصِيَةٍ عُيِّرَتْ بِهَا أَخَاكَ فَهِيَ إِلَيْكَ يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيْدَ بِهِ أَنَّهَا صَائِرَةٌ إِلَيْكَ وَلاَ بُدَّ أَنْ تَعْمَلَهَا

“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin, 1: 176)


Ada suatu kisah pada kurun waktu Abad ke-2 Hijriyah di kota Baghdad dimana saat itu Baghdad merupakan pusat Ahlul-Haqq. Diantara sekian banyak Ahlul-Haqq, ada satu ulama yang memiliki tiga puluh khanqah (tempat suluk) di Baghdad. Selain itu beliau adalah seorang ulama dan muhaddits terkenal yang dikatakan bahwa jumlah muridnya adalah 12.000 orang. Beliau hafal 30.000 hadits, dan bisa membaca Al-Qur'an di semua tujuh "wajhul qiraa'aat" (wajah-wajah bacaan al-Qur'an). Beliau bernama Syekh Abu Abdullah Al - Andalusi (Spanyol).


Pada suatu kesempatan, beliau sedang melakukan perjalanan dan ditemani oleh sekelompok besar murid di antaranya adalah Sufi agung Junayd Baghdadi (ra) dan Shibli (ra) yang terkenal. Hadrat Shibli (ra) melanjutkan ceritanya: “Kafilah kami berjalan dengan cukup baik, aman dan nyaman sampai kami melewati daerah tempat tinggal orang nasrani. Waktu shalat memang sudah masuk, tapi karena tidak tersedianya air, kami belum melaksanakannya. Ketika kami sampai di desa nasrani, pencarian dilakukan untuk mencari air. Kami berkeliling desa dan menemukan bahwa kota itu memiliki banyak kuil, altar pemujaan matahari, sinagog, dan gereja. Beberapa dari mereka menyembah matahari, beberapa menyembah api, dan beberapa mengarahkan permohonan mereka di kayu salib. Kami melewati semua ini dan mencapai pinggiran kota, di mana kami menemukan sebuah sumur dan beberapa gadis mengambil air untuk diminum orang-orang.”

Mata Syekh Abu Abdullah (ra) tertuju pada salah satu gadis yang mempunyai kecantikan yang luar biasa. Dia mengenakan pakaian yang indah dan dihiasi dengan perhiasan. Syekh Abu Abdullah (ra) bertanya kepada gadis-gadis lain siapa dia. Mereka menjawab: "Ini adalah putri pemimpin kami". Syekh (ra) bertanya kembali: “Lalu mengapa ayahnya merendahkannya sedemikian rupa sehingga dia harus duduk di dekat sumur dan memberi orang air minum?”


Gadis-gadis itu menjawab: “Ya, ayahnya memiliki orang-orang bayaran. Tetapi ayahnya seorang yang sangat pintar. Dia tidak mau anak gadisnya duduk bersenang - senang dan merasa bangga dan congkak dengan segala kemewahan harta miliknya, dikhawatirkan dengan itu dia nanti akan menjatuhkan martabat ayahnya. Ayahnya tidak mau setelah perkawinannya nanti, anak gadisnya gagal melaksanakan tanggungjawab untuk menjaga keperluan suaminya akibat terlalu dimanjakan”.

Hadrat Shibli (ra) mengatakan: “Syekh Abu Abdullah (ra) duduk di atas tanah dengan wajahnya ke bawah, dan Beliau (ra) terdiam dalam keadaan seperti itu selama hampir tiga hari tanpa makan dan minum serta berbicara dengan siapapun. Pada saat shalat dia akan melakukan shalatnya.” Pada hari ketiga menjadi sedih dengan situasinya, aku memutuskan untuk berbicara dengannya. Aku berkata: “Wahai Syekh, murid-muridmu sangat khawatir dan bingung dengan keheninganmu yang terus berlanjut ini. Silakan berbicara dengan kami. Apa masalahnya?"

Syekh Abu Abdullah (ra) menjawab: “Teman-temanku tercinta! Berapa lama aku bisa menyembunyikan kondisi ini dari kalian? Hatiku telah dipenuhi dengan cinta untuk gadis yang kita lihat kemarin. Begitu hebat sekali cinta ini menguasai jiwaku, sehingga menguasai seluruh urat dagingku. Tidak mungkin bagiku dalam keadaan apa pun untuk pergi dari sini. ” Hadrat Shibli (ra) menjawab: “Wahai Mursyidku! Engkau adalah pembimbing spiritual seluruh Irak. Engkau dikenal karena kesalehan, pengetahuan, dan kebajikan serta murid berjumlah lebih dari 12.000 orang. Aku mohon kepada Engkau melalui Al-Qur'an untuk tidak mempermalukan kami." Syekh Abu Abdullah (ra) menjawab: “Teman-temanku tercinta, nasibmu dan nasibku kini telah disegel oleh takdir. Jubah kesucian telah dicabut dariku dan tanda-tanda petunjuk telah dicabut dariku. Apa yang telah ditakdirkan telah terjadi, sekarang aku bukan apa-apa.” Mengatakan ini, Syekh Abu Abdullah (ra) mulai menangis dengan sedih.

Ketika orang-orang mendengar tentang kepulangan kami, mereka muncul dalam jumlah besar di pinggiran kota untuk datang dan menemui Syekh Abu Abdullah (ra). Mereka melihat bahwa dia tidak bersama kami dan masyarakat mulai bertanya tentang hal itu. Kami memberi tahu mereka seluruh cerita. Mereka sangat sedih dan menangis. Banyak yang jatuh dalam doa memohon kepada Allah untuk membimbing Syekh Abu Abdullah (ra) ke jalan yang benar dan mengembalikannya ke posisi semula. Sementara itu semua khanqah ditutup. Kami masih membicarakan tentang tragedi Syekh satu tahun kemudian ketika kami memutuskan untuk mengunjungi kota itu lagi dan mencari tahu bagaimana keadaannya. Sekelompok dari kami berangkat dan setelah bertanya diberitahu bahwa dia berada di hutan menjaga babi. Kami berkata: “Ya Allah lindungilah dia (ra)! Apa yang telah terjadi? Penduduk desa memberi tahu kami bahwa dia telah melamar putri kepala desa. Ayah gadis itu telah menerima lamaran itu dengan syarat dia akan memelihara babi-babi itu.”

“Dengan air mata mengalir, kami pergi ke hutan tempat dia memelihara babi. Kami melihatnya memakai topi nasrani dengan seutas manik-manik suci di lehernya dan pada pinggang beliau (ra) terikat zunnar (kain tanda untuk orang dzimmi). Dia berdiri bersandar pada tongkat ketika dia melihat babi-babi itu, berdiri dengan cara yang sama seperti dia berdiri ketika dia biasa menyampaikan khutbah untuk kami. Syekh (ra) yang biasanya mampu menatap dalam hati sanubari kami, kini yang kami lihat hanya tertuju menatap babi. Ini seperti mengoleskan garam ke luka kami yang terbuka.”

Ketika dia melihat kami datang ke arahnya, dia (ra) menundukkan kepalanya karena malu. Kami mendekat dan mengucapkan "Assalamu'alaikum." Dia menjawab: “Walaikumus-salaam”. Kemudian Hadrat Shibli (ra) bertanya: “Wahai Syekh, terlepas dari pengetahuan dan kebajikanmu, apa yang telah terjadi pada Engkau?” Syekh Abu Abdullah(ra) menjawab: “Saudara-saudaraku! Aku saat ini tidak lagi didorong oleh pilihan dan keinginanku sendiri. Apapun yang Allah kehendaki untukku, Dia telah melakukannya kepadaku. Setelah membawaku begitu dekat ke pintu-Nya, Dia sekarang telah melemparkanku sangat jauh dari-Nya. Siapakah yang dapat membatalkan ketetapan Allah? Wahai saudara-saudaraku, bertakwalah terhadap kekuasaan dan murka Allah. Jangan sekali-kali sombong dan angkuh tentang ilmu dan keutamaan-Mu." Kemudian sambil menoleh ke langit ia berkata: "Ya Tuhanku, aku tidak pernah menyangka bahwa Engkau akan membuatku begitu hina dan hina dan mengusirku dari pintu-Mu." Kemudian dia mulai menangis dengan getir dan memohon kepada Allah.

Kemudian Hadrat Shibli mulai menangis dan berdoa, "Wahai Tuhan yang memelihara kami, hanya kepada-Mu-lah kami memohon bantuan dan pertolongan dan hanya kepada-Mu-lah kami bergantung. Jauhkan kami dari musibah ini karena tidak ada siapapun yang mampu menjauhkannya selain Engkau." Mendengar tangisan dan suara mereka yang sayu ini, segerombolan babi pun berkumpul menghampiri mereka dan juga turut menangis dan meratap.

Hadrat Shibli (ra) bertanya lagi, "Wahai Syekh, Tuan dulunya seorang hafidz hingga mampu membaca qira'ah sab'ah. Apakah Tuan masih bisa mengingat apa - apa mengenai Al-Qur'an? Lalu Syekh Abu Abdullah (ra) menjawab, "Wahai sahabatku, aku tidak mampu mengingat ayat Qur'an selain 2 ayat saja.

Ayat yang pertama adalah;


۩ وَمَن يُهِنِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِن مُّكْرِمٍ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَآءُ ........

".......Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki."

( Surat Al-Hajj ayat 18).

Ayat yang kedua adalah;


وَمَن يَتَبَدَّلِ ٱلْكُفْرَ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ ضَلَّ سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ......

"Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus."

Hadrat Shibli (ra) bertanya lagi, "Wahai Syekh, Tuan dulunya mampu membaca 30.000 hadits bersama sanadnya secara hafalan. Adakah Tuan masih mengingatnya lagi? Lalu Syekh Abu Abdullah (ra) menjawab, "Hanya satu hadits yang masih aku ingat yaitu,


مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

”Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR. Bukhari 3017, Nasa'i 4059, dan yang lainnya)

Melihat keadaan ini, lalu kami meninggalkan beliau (ra) disana dan pulang kembali ke baghdad.

Setelah tiga kali persinggahan dalam perjalanan, pada hari ketiga tiba - tiba kami melihat Syekh Abu Abdullah Al Andalusi (ra) di hadapan kami. Beliau selesai mandi di bantaran sungai lalu keluar dan dengan suara yang kuat, beliau mengucap syahadat,


أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ


Syekh (ra) mendekati mereka lalu berkata: “Berikan kepadaku sepasang pakaian yang bersih untuk dipakai!”

Syekh (ra) pun mengenakan pakaian bersih itu dan mulai mendirikan sholat. sambil kami menunggu dengan rasa tidak sabar hendak mendengar kisahnya. Hanya setelah beliau mendirikan sholat saja kami dapat mendengar kisahnya. Beliau berpaling kepada kami dan kami pun berkata: “Segala puji bagi Allah, Dia yang telah mengembalikan tuan kepada kami dan Dia yang melengkapi semula jemaah kita setelah terpecah. Tetapi, kabarkanlah kepada kami, bagaimana walaupun kami merayu kepada tuan supaya kembali kepada kami, tuan berkeras menolaknya dan sekarang tuan kembali.”

Syekh (ra) pun mula bercerita: “Sahabatku, saat kalian semua meninggalkanku, aku terjatuh dan aku bermunajat kepada Allah supaya menyelamatkanku daripada musibah itu. Aku merayu: Wahai Tuhan, aku lah hamba-Mu yang berdosa. Allah Tuhan yang mendengar doa-doa, akhirnya menerima rayuanku dan membersihkan segala dosaku”. Selepas itu kami bertanya kepada Beliau (ra), "Apa yang sebenarnya terjadi sehingga Tuan mendapat ujian seperti ini?"

Syekh Abu Abdullah (ra) menjawab, "Saat kita tiba di perkampungan itu, melihat gereja dan kuil,  serta melihat penyembah api dan penyembah salib itu sibuk menyembah benda-benda selain Allah, ada sejenis perasaan bangga menguasai diriku bahwa kita semua menyembah Allah yang satu. Aku berpikir, orang-orang bodoh ini sebagai orang yang celaka dan orang dungu yang jahil karena menyembah benda yang tidak memiliki nyawa dan akal. Pada ketika itu, aku mendengar suatu suara membisikkan kepada hatiku: “Iman yang ada padamu ini bukan karena dari kemuliaanmu atau sifat-sifat baikmu. Semua hanyalah nikmat kami ke atas dirimu. Jangan kamu menanggap iman kamu datang dari pilihan kamu sendiri, sehingga kamu dapat memandang manusia ini dengan pandangan yang menghina. Dan sekiranya itu yang kamu mau, Kami akan mengujimu sekarang”. Ketika itu, aku merasakan seperti seekor merpati putih telah meninggalkan hatiku dan terbang pergi. Sebenarnya, itulah dia imanku.”

Hadrat Shibli menyatakan: “Setelah itu, rombongan kami pun tiba di Baghdad dengan penuh kegirangan. Semua murid beliau sangat gembira bahwa Syekh (ra) telah kembali kepada Islam. Semua khanqah telah dibuka kembali. Raja yang memerintah negeri pada ketika itu datang dan membawakan beberapa hadiah.


Sekali lagi, Syekh (ra) meneruskan pekerjaan yang sebelumnya. Beliau kembali mengajar Hadits, tafsir dan sebagainya, dan menyibukkan dirinya dengan melayani umat. Allah mengembalikan semula semua khazanah ilmunya. Bahkan, pengetahuannya sekarang telah bercampur dengan hikmah yang lebih mendalam dan menjadi lebih hebat dari sebelumnya. Dalam masa yang begitu singkat, jumlah anak muridnya mncapai 40,000 orang.

Suatu hari, selepas solat Fajar, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah. Saat pintu rumah dibuka, ada seseorang yang berpakaian serba hitam sedang berdiri di situ.

Hadrat Shibli bertanya kepadanya, “Siapa kamu ini? Dari mana kamu datang dan apa tujuan kamu kemari?”

Orang itu berkata, “Beritahu kepada syekhmu bahwa perempuan yang telah ditinggalkannya di perkampungan itu ingin menemuinya. Aku berkhidmat untuknya.”

Hadrat Shibli berkata, “Aku pergi menemui Syekh (ra) dan memberitahunya sebagai mana yang diminta. Saat beliau mendengar tentang perempuan itu, beliau terkejut dan wajahnya berubah menjadi pucat dalam ketakutan, dan beliau mulai menggeletar. Hanya beberapa ketika setelah itu barulah dia membolehkan gadis itu masuk."

Saat gadis itu melihat Syekh (ra), dia mulai menangis begitu hebat sekali hingga dia tidak dapat berkata apa-apa.

Syekh (ra) bertanya, “Kenapa kamu datang ke mari hari ini? Siapa yang memberitahu kamu cara untuk sampai ke sini?”

Gadis itu menjawab, “Tuanku, saat tuan pergi meninggalkan kampung, aku mengetahui berita itu, hanya saja hatiku yang mengetahui betapa sedih dan menderita yang aku rasa. Aku tidak ada selera makan atau minum dan tidak ada rasa lapar, haus yang merisaukan aku. Aku berada dalam keadaan yang sangat kecewa, sedih dan tertekan. Ketika aku berbaring malam itu, aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku melihat seseorang memberitahu aku, “Jika kamu ingin memasuki tingkatan wanita yang beriman, maka kamu harus meninggalkan penyembahan kepada berhala, ikut petunjuk Syekh (ra), bertaubat dari agamamu dan masuk ke dalam agama Syekh (ra)."

Aku bertanya kepada lelaki yang memberitahuku dalam mimpi itu, “Agama apakah yang dianut Syekh itu?”

Lelaki itu menjawab: “Islam."

Aku bertanya: “Apa Islam itu?”

Lelaki itu menjawab: “Ia mengakui dengan lidah dan hati bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.”

Aku pun berkata, “Baiklah kalau begitu, tapi bagaimana aku bisa menemui Syekh (ra)?”

Lelaki itu berkata, “Tutup mata kamu dan letakkan tanganmu di atas tanganku.”

Aku berkata: “Baiklah. (aku pun meletakkan tanganku di atas tangannya. Dia membawaku beberapa saat dan kemudian menyuruhku membuka mataku. Ketika aku membuka mataku, aku mendapati diriku berada di sungai Dajlah (Sungai Tigris yang mengalir di Baghdad), aku agak terperanjat untuk berada di satu tempat yang begitu jauh dalam masa yang sebegitu singkat.”

Lelaki itu menunjukkan arah ke rumah tuan dan memberitahuku, “Di situ ada rumah Syekh (ra). Pergi ke sana dan beritahu dia bahwa saudaranya, (Nabi) Khidr as., mengirimkan salam.”

Kata gadis itu, “Aku telah tiba di sini melalui arah itu. Sekarang aku berada dalam khidmat tuan. Sudilah tuan menunjukkan aku kepada Islam.”

Syekh (ra) menjadikan gadis itu seorang Muslim dan membolehkan dia tinggal dekat dengannya di dalam sebuah rumah yang dikhususkan untuk dirinya beribadah. Setelah menerima Islam, dia menyibukkan dirinya dengan ibadah, menyibukkan diri dengan berpuasa dan menghabiskan malamnya dengan solat. Oleh karena terlalu kuat beribadah, dia kehilangan begitu banyak berat badan, tubuhnya menjadi lemah dan kurus hingga yang tinggal hanyalah kulit dan tulang saja. Akhirnya, dia jatuh sakit hingga sakitnya hampir membawa kepada maut. Permintaanya yang terakhir adalah untuk menemui Syekh (ra) karena semenjak dia memasuki Islam, mereka berdua tidak pernah bertatap mata. Dia meminta Syekh (ra) untuk datang bertemu dengannya untuk kali terakhir sebelum dia pergi.

Apabila Syekh (ra) mendengar keadaannya, beliau bergegas menuju ke perbaringannya. Saat Syekh (ra) memasukinya, mata gadis itu penuh dengan air mata sehingga dia tidak dapat melihat melaluinya, dan dia telah menjadi amat lemah, hingga dia tidak dapat berbicara sepatah kata pun. Akhirnya, setelah mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang ada, satu-satunya yang dia mampu ucapkan ialah, 

“Assalamualaikum.”

Syekh (ra) berkata, “Jangan takut dan jangan bimbang. Insya-Allah, tidak lama lagi kita akan bertemu di syurga.”

Mendengar perkataan yang penuh simpati ini, dia terdiam. Tidak lama setelah itu, dia pun meninggal dunia. Kematian gadis itu menyebabkan Syekh (ra) menjadi sangat sedih, namun kehidupan Syekh (ra) sendiri tidak lama dan selepas itu, beliau pun pergi meninggalkan alam yang fana’ ini.


Dari kisah tersebut kita dapat mengambil beberapa pelajaran;

1. Jangan pernah meremehkan suatu kaum karena nikmat iman dan islam didapat bukan karena usaha, tetapi semata atas hidayah dan taufiq dari Allah swt. 

2. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah, setiap ujian pasti ada hikmah dibaliknya dan Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.


Sumber;

1. Kitab Hayaatul Hayaawan Al-Kubro karya Imam al-'Allamah Kamaluddin Muhammad bin Musa ad-Dumairi.

2. Kitab Ummul Amradh karya Syeikhul-Hadits Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandhlawi.

Selasa, 10 Desember 2013

Sejarah Cucu Nabi Adam As dan Anak Nabi Syits As: Sayid Anwar dan Sayid Anwas


Gagasan bahwa umat manusia berasal dari Adam diceritakan oleh mitos lain yang menghubungkan mata rantai antara generasi saat ini dan nenek moyang mereka. Menurut mitos di kalangan penduduk Cirebon, pertama kali Adam mendapat keturunan adalah ketika ia berusia sekitar 130 tahun, Hawa mengandung dan melahirkan anak kembar, satu pria dan satu wanita, yang diberi nama Qabil dan Iqlima. Secara keseluruhan Hawa melahirkan sampai 42 kali, dan setiap kelahiran adalah kembar (satu laki-laki dan satu perempuan), kecuali pada kelahiran yang ke-6, yaitu ketika Hawa mengandung hanya satu anak laki-laki, yaitu Syits, dan yang ke-40 kali, yaitu ke-tika mengandung hanya seorang anak perempuan, Hunun.

Ketika Hawa melahirkan pasangan kembar yang kelima, Adam menetapkan aturan perkawinan, bahwa anak lak-laki yang tampan harus menikah dengan anak perempuan yang tidak cantik, sedangkan anak laki-laki yang tidak tampan harus menikah dengan anak perempuan yang cantik. Karena setiap Hawa melahirkan selalu kembar dua, sehabis kembar cantik dan tampan, kemudian kembar tidak cantik dan tidak tampan, dengan demikian menurut aturan ini dipastikan bahwa tak seorang anaknya pun yang bisa menikahi kembarannya.

Pada tahap ini, Iblis —yang telah menyebabkan mereka dilempar dari surga— menyiapkan sebuah rencana baru. Ia mencoba lagi mengganggu Adam dan Hawa, tetapi tidak bisa melakukannya dengan cara yang sama seperti ia telah melakukan di surga, sebab alam mereka telah menjadi sangat berbeda. Adam dan Hawa adalah makhluk fisik (jasmani, kasar), sedangkan iblis sendiri adalah makhluk non-fisik (rohani, halus). Iblis kemudian memasuki hati Siti Hawa dan berbisik kepadanya agar memberontak melawan terhadap aturan perkawinan Adam dengan menentang dan mengesankan sebagai aturan yang kontroversial; yaitu, putranya yang tampan juga harus menikah dengan putrinya yang cantik, dan putra yang tidak tampan juga harus menikah dengan putrinya yang tidak cantik.

Untuk mendukung pernyataan mereka, Adam dan Hawa masing-masing mengklaim berhak atas anak-anak mereka dan oleh karena itu juga berhak untuk menetapkan peraturan perkawinan. Masing-Masing bersikeras bahwa anak-anak itu benar-benar berasal dari badannya; menurut Adam dari spermanya dan menurt Hawa dari sel telornya. Untuk memecahkan masalah tersebut akhirnya mereka sepakat untuk menuangkan kedua unsur tersebut (sperma dan sel telur) ke dalam dua bejana (atau cupu) yang berbeda untuk memohon bimbingan Tuhan.

Suatu hari setelah berdoa, muncullah angin yang cukup kencang menerbangkan bejana Siti Hawa. Ketika itu Adam berusia sekitar 160 tahun, di dalam bejananya berkembanglah seorang bayi laki-laki yang manis. Mereka kemudian paham bahwa semua yang telah terjadi adalah Kehendak Tuhan lalu memberi nama bayi itu Syits. Sejak saat itu, aturan perkawinan yang dirancang oleh Adam pun berlaku. Keseluruhan populasi manusia dunia, oleh karena itu turun dari Adam melalui/sampai anak-anak nya (kecuali Hunun, yang tidak menikah sebab dia dilahirkan tanpa kembaran, dan Habil, yang dibunuh sebelum mempunyai anak), termasuk Syits, yang mendapatkan isterinya dengan cara berbeda.

Gagal menggoda Hawa, Iblis tidak berhenti mengganggu; ia beralih kepada anak-anaknya. Sebagai hasil usahanya, diluar dari yang empatpuluh perkawinan antara anak-anak Adam, ada tiga pasang yang memilih menentang aturan perkawinan dan menikahi pasangan kembar mereka yang tampan dan cantik. Mereka adalah: pasangan kembar sulung, Kabil menikahi Aklima; pasangan kembar kelima, Harris menikahi Dayuna; pasangan kembar kelimabelas, Lata menikahi Ujiah (‘Uzza). Kabil menikahi Aklima setelah pembunuhan suaminya, Habil. Untuk menyatakan pemberontakannya mereka meninggalkan tempat Adam; Kabil-Aklima ke selatan Afrika; sedangkan Lata-Ujiah ke arah barat Afrika (Eropa?); dan Harris-Dayuna pergi ke arah timur ke negeri China.

Tanpa menetapkan dari pasangan mana penduduk asli Jawa dimulai, mitos ini mengatakan bahwa ekspedisi laut yang pertama ke Pulau Jawa diadakan oleh Wazir Asia barat, Alexander The Great (Iskandar Zulkarnain, Nabi Dzul Qarnayn). Ia sengaja mengirim sebanyak 2.000 laki-laki dan perempuan untuk menduduki Pulau Jawa. Sayangnya mereka menemui ketidakramahan dan sebagian besar mereka dibunuh oleh penghuni asli, termasuk beberapa macam binatang buas liar, lelembut dan dedemit (hantu). Tidak lebih dari 100 orang yang tersisa dan kembali ke Asia barat.

Ekspedisi kedua dikirim lagi tetapi dengan kewaspadaan tinggi, turut serta sejumlah tetua yang bijak dan suku-suku yang berbeda, terutama sekali orang-orang dari selatan dan Asia tenggara (Keling dan Campa). Ada sekitar 20.000 laki-laki dan perempuan, yang dipimpin oleh Syeikh Subakir yang mendarat di Pulau Jawa. Syeikh Subakir segera pergi ke Gunung Tidar di mana ia menemui Semar dan Togog, para pemimpin mahluk halus di Jawa dan merundingkannya dengan mereka.

Mereka akhirnya mencapai suatu persetujuan dengan membiarkan pendatang baru itu untuk tinggal di Pulau Jawa dengan syarat mereka harus sadar bahwa Pulau Jawa sesungguhnya dihuni oleh banyak mahluk halus, sehingga kedua belah pihak —terutama pendatang pertama (penghuni asli)— yang lebih dulu harus berusaha untuk mendukung kehidupan bersama yang tenang (rukun) satu sama lain. Sejak saat itu Pulau Jawa telah dihuni oleh makhluk halus dan juga manusia.

Posisi keturunan Adam, Syits, menjadi makin signifikan. Mitos mengatakan bahwa Syits tadinya adalah salah satu dari anak-anak Adam yang paling terkasih, dan oleh generasi kemudian kepadanya figur mitos penting ditujukan. Ia menikah Dewi Mulat, namun siapa dia, dari mana dia datang, dan bagaimana Syits berjumpa dengannya, tidak diuraikan. Syits, pada sisi lain, digambarkan sebagai anak yang berkelakuan baik, sehingga kemudian setelah Adam meninggal pada usia 960 tahun, Syits menerima warisan kenabian Adam.

Hal ini menjadikan kebanggan dan sekaligus kecemburuan pada diri Idajil, Raja jin. Idajil ingin, dan kemudian mencoba, untuk mempunyai keturunan yang bisa mengambil alih, atau paling tidak, membawa kemuliaan Adam dan Syits. Ia ingin Syits menikahi putrinya, Delajah. Namun sayangnya, Syits telah menikahi Dewi Mulat. Bagaimanapun juga Idajil tidak berputus asa, sebagai gantinya, ia membuat segala cara yang mungkin untuk mewujudkan hasratnya. Ia menyindir putrinya, Delajah, ke dalam diri Dewi Mulat dan dengan diam-diam menaruhnya di samping Syits. Pada waktu yang sama ia membawa Dewi Mulat. Setelah tahu dengan pasti bahwa Delajah telah dihamili ia melepaskannya dan dengan seketika menggantinya dengan Dewi Mulat karena takut ketahuan.

Beberapa waktu kemudian, bersamaan dengan terbitnya matahari, Mulat melahirkan dua orang anak Syits. Yang satu berwujud bayi normal, sedangkan yang satunya berwujud cahaya. Di lain tempat pada saat matahari terbenam, Delajah juga melahirkan putra Syits namun berwujud darah yang berkilauan. Diam-diam Idajil membawa “cucunya” itu untuk dipersatukan dengan putra Mulat yang berwujud cahaya. Terciptalah seorang bayi laki-laki yang tubuhnya memancarkan cahaya tapi tidak bisa diraba. Nabi Adam kemudian memberikan nama kepada kedua cucunya tersebut. Bayi yang bertubuh normal diberi nama Anwas, sedangkan yang memancarkan cahaya diberi nama Anwar.

Dua bayi tersebut (satu manusia dan satunya lagi, sesungguhnya, adalah jinn), dirawat dengan cinta dan kasih sayang, bahkan ketika Adam telah sadar bahwa Idajil yang telah campur tangan dalam hubungan tersebut. Selama masa kanak-kanak mereka, mereka menghormati kakek dan nenek dan orang tua mereka dengan sangat baik, dan bangga akan mereka, tetapi kemudian Anwas dan Anwar menunjukkan pilihan dan kebiasaan yang jelas sangat berbeda.

Anwas sangat jelas mengikuti kebijaksanaan dari kakek dan bapaknya, menjadi seorang yang beriman dengan tulus, gemar akan pelajaran kebenaran dan iman. Anwar, bagaimanapun, senang akan pengembaraan untuk mencari kebijaksanaan melalui perenungan dalam ketenangan dan tempat-tempat asing/aneh seperti di atas pegunungan, di dalam rimba raya dan di dalam gua. Sebelum kematiannya, Adam menceritakan kepada Syits agar seksama bahwa para putranya Anwas dan Anwar akan mengambil alur berbeda. Ramalan ini sebenarnya setelah Adam meninggal. Anwar selalu bersedih ketika mengingat bahwa manusia akhirnya mati, tak bisa bergerak dan dikuburkan. Syits menceritakan kepadanya bahwa itu adalah proses yang alami dan bahwa itu akan terjadi pada semua orang tanpa perkecualian. Tetapi duka cita Anwar tak tertahankan dan ia mengolah pikirannya untuk meninggalkan orang tuanya dan untuk mengambil tindakan apapun yang akan memungkinkan dia untuk menghindari penyakit dan kematian. Ia mengembara mencari-cari sesuatu yang akan memastikan harapannya. Idajil dengan segera mengambil keuntungan dari kesempatan; ia menemui Anwar, yang sesungguhnya adalah cucunya, dan menceritakan kepadanya bahwa keputusannya adalah baik dan ia berjanji untuk membantunya.

Idajil membimbing Anwar ke arah utara, ke Dulmat. Di sini Idajil melakukan suatu tindakan magis, pertama dengan membuat awan tebal yang membungkus badan mereka bersama-sama. Seketika awan menghilang, sebuah sumber air nampak di depan mereka. Ia meminta Anwar untuk minum sebanyaknya, sekuat kemampuannya, serta agar berendam di sumber air yang disebut Tirta Marta Kamandanu (air kehidupan), air kehidupan kekal. Ia juga memberi Anwar bejananya Siti Hawa, yang disebut Cupu Manik Astagina, bejana permata dengan delapan keistimewaan, yang telah ditemukan Idajil setelah bejana itu diterbangkan oleh angin yang kencang. Ia meminta Anwar untuk mengisinya dengan air, untuk beberapa keperluan di masa mendatang. Salah satu keistimewaan bejana tersebut bahwa air di dalamnya tidak pernah dapat habis.

Idajil kemudian memimpinnya keluar dari tempat ini dan menceritakan kepadanya agar mengambil sekuntum tumbuhan Rewan yang akan ia temukan dalam perjalanan kembalinya, akarnya disebut Latamansadi, yang mujarab untuk mengobati segala macam penyakit. Idajil kemudian menghi-lang, membiarkan Anwar dalam keadaan ragu-ragu kemana akan pergi. Tetapi pada akhirnya Anwar menemukan tumbuhan tersebut dan ia dengan gembira mengambil sebagian dari akar latamansadi.

Pada waktu itu Anwar telah menemukan berbagai hal yang penting yang ia benar-benar menginginkan: menghindari penyakit, dengan menguasai latamansadi, dan menghindari kematian dengan minum dan mandi dengan air kehidupan kekal. Ia mempunyai lebih banyak lagi bejana permata delapan keistimewaan dan beberapa cadangan air kehidupan kekal. Setiap ia menginginkan masih ada lagi.

Mitos melanjutkan dengan cerita bagaimana Anwar di bawah bimbingan Idajil, dapat berjalan dan bergerak dengan kecepatan rohani yang hebat. Misalnya, ia terdorong untuk melakukan petualangan lebih lanjut: ke laut Iraq, dimana disana ia berjumpa dengan para malaikat yang dikutuk, yaitu Harut Dan Marut, yang mengajarinya ilmu astrologi untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa datang.

Di Afrika ia berjumpa dengan paman dan bibinya, Lata dan Ujiah (‘Uzza), putra dan putri Adam yang suka menentang yang mengajarinya bagaimana cara memperoleh hidup nyaman dengan berkelimpahan.

Di Gunung Cauldron di muara Sungai Nil, Anwar berjumpa lagi dengan Idajil, tetapi ia tak mengenalinya. Idajil memberinya pengalaman mistis melihat surga; diajarinya agar dapat bergerak lebih cepat dari angin; dan memberinya hadiah yang mahal, Ratna Dumilah, sebuah intan permata seperti lampu bersinar yang bisa membimbingnya ke jalan yang lebih terang; Idajil mengajarinya, dan memberinya hak otoritas untuk mengajarkan doktrin tentang kehidupan kekal melalui ‘reinkarnasi’, dan untuk mencapai surga bagi mereka yang tidak ingin menjelma lagi (dalam reinkarnasi).

Idajil juga memintanya untuk mengejar pengetahuan yang lebih lanjut seperti pencerahan di antara Pulau Maldewa dan Laksdewa, yang bernama Lemah Dewani.

Di situlah Sayid Anwar melakukan tapa brata dengan cara melihat matahari mulai terbit sampai tenggelam. Setelah tujuh tahun bertapa, daya linuwih pada Sayid Anwar terolah hebat sehingga bisa menghilang (kasat mata). Dalam pengembaraannya di Lemah Dewani, Sayid Anwar banyak bertarung dengan para jin dan membuat mereka tunduk di bawah kekuasaannya. Mendengar kehebatan Sayid Anwar, lama-lama banyak kaum jin yang memilih mengabdi padanya. Kejadian tersebut sangat mengganggu Prabu Nuradi, raja para jin yang menguasai Lemah Dewani. Prabu Nuradi melabrak Sayid Anwar dan mengajaknya bertarung. Dalam pertarungan itu Orabu Nuradi kalah dan tunduk pada kekuasaan Sayid Anwar. Prabu Nurani memilih turun tahta lalu mengangkat Sayid Anwar menjadi raja para jin dan menyerahkan putrinya menjadi isteri. Ketika menjadi raja jin, Sayid Anwar mendapatkan gelar Prabu Nurasa. Prabu Nurasa yang telah memiliki kehidupan abadi, kemudian tinggal di tempat tinggi dan meminta izin pada Yang Mahaesa untuk mengangkat diri sebagai Tuhan Semesta Alam. Yang Mahaesa mengabulkan dan membiarkan Prabu Nurasa murtad dari ajaran keturunan Nabi Adam. Ketika menjadi raja, Lemah Dewani diubah nama menjadi Tanah Jawi (Tanah Jawa). Dari Prabu Nurasa lahirkan keturunan-keturunannya yang kemudian menjadi para dewa mulai dari Batara Guru sampai raja-raja di Tanah Jawi.

Tidak sama dengan Anwar —yang dulu dilahirkan sebagai roh dan yang membentuk agamanya sendiri setelah mela-kukan perenungan dan pencarian panjang dalam hal kebijaksanaan di bawah bimbingan Idajil— Anwas dilahirkan sebagai manusia nyata, yang mengikuti agama risalah dari kakeknya (Adam) dan bapaknya (Syits). Ia memperoleh keturunan yang juga nabi, termasuk Muhammad, nabi yang terakhir. Mereka meneruskan agama Allah kepada yang mau menerimanya.

 Menurut mitos, skenario Idajil tidak berakhir dengan Anwar, yang menjadi perhatian utamanya adalah untuk mempunyai keturunan yang menjaga kemuliaan Syits antara jin atau manusia. Di kemudian hari, dari perkawinan silang keturunan Anwar dengan jenis manusia, muncullah beberapa jenis keturunan, ada yang jin, ada yang manusia, juga ada yang setengah jin setengah manusia. Beberapa di antara mereka adalah figur terhormat: dari kalangan jin yaitu Sang Hyang, dari jenis manusia adalah Sang Prabu, Pandhita, dll., dan di antara yang setengah jin setengah manusia adalah Bhatara, dan Bhagawan. Keturunan yang terakhir ini, dengan tradisi agama mereka (agama Sang Hyang) yang menduduki Pulau Jawa yang mendahului Islam.

Di lingkungan wilayah Cirebon, keseluruhan mitos ini menjadi bagian dari tradisi kesusasteraan yang berkaitan dan menjadi mata rantai dengan bapak penemu mereka, Sunan Gunung Jati. Dari Adam dapat diusut dari kedua sisi: Anwar dan Anwas. Ibu Sunan Gunung Jati, Rarasantang, adalah putri Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, Keturunan Jawa ke-41 dari Batara Guru, dan keturunan ke-45 dari Sang Hyang Nurasa, Putra Syits, putra Adam. Ayah Sunan Gunung Jati adalah Syarif Abdullah, Wazir Kerajaan Turki di Mesir, keturunan ke-21 dari Nabi Muhammad, sedangkan Nabi Muhammad sendiri adalah keturunan ke-37 dari Anwas, putra Syits, putra Adam.

Pesan di balik mitos ini telah jelas sudah: pada satu sisi, Sunan Gunung Jati dan keturunannya mempunyai hak-hak legitimasi kepemimpinan baik secara rohani maupun politis bagi seluruh penduduk Jawa, baik itu para pengikut Sang Hyang, orang Islam, makhluk halus, atau manusia, sepanjang mereka adalah keturunan Adam atau jin. Dengan begitu mereka semua harus tinggal dalam keselarasan (rukun) di bawah kepemimpinan keturunannya.

Pada sisi lain, mitos ini secara implisit menyatakan bahwa Allah adalah Yang Maha Tertinggi dan Maha Esa. Sedangkan dewa-dewa lain yang sebagian besar jenis Sang Hyang adalah tak lain hanya nenek moyang kita yang layak untuk dihormati tetapi tidak untuk dipuja/disembah. Mereka tak berdaya menghadapi kuasa ilahi mandiri dan riil. Jika mereka menunjukkan suatu kekuatan, adalah sebab Tuhan telah memberikan kepada mereka. Kekuatan mereka dapat dicabut kapan saja Tuhan mau. Lebih dari itu, seperti halnya kita, mereka hanya keturunan Syits, putra Adam. Adam sendiri adalah ciptaan Tuhan, yang pernah suatu kali dihukum. Ia selamat setelah tobat dan telah diserahi posisi sebagai Wakil Tuhan di atas bumi (khalîfatullâh fil ardh), setelah dicurahkan RahmatNya. Meski demikian, ia juga mengalami mati karena ia hanya makhluk ciptaan.

Dzikir Fida'


Asy-Syaikh Abu Zaid Al Qurtubi ia berkata : 

Saya telah mendengar hadits (ada yang mengatakan atsaar) yang menerangkan bahwa : siapa yang membaca laa Ilaaha Illallah tujuhpuluh ribu (70.000) kali, maka akan jadi tebusan dari api neraka, maka saya kerjakan itu karna mengharap berkat janji itu, juga saya kerjakan untuk keluargaku, juga saya telah berbuat lain-lain amal untuk tabunganku di hari kiamat.

Bertempatan di tempat kami, bermalamlah seorang pemuda ahli kasyaf, bahkan adakalanya (sewaktu-waktu dibuka hijabnya sama Allah) ia menerangkan kasyafnya mengenai surga dan neraka, orang-orangpun mengakui kelebihan pemuda itu meski usianya masih muda, bahkan saya juga menaruh kepercayaan terhadapnya.

Bertepatan kami di undang oleh kawan untuk makan minum di rumahnya, dan pemuda itu juga bersama kami dalam undangan itu, tiba-tiba ia menjerit sekeras-kerasnya, lalu ia berkata : ya ammi (paman), itu ibuku berada dalam api neraka, lalu ia menjerit kembali sekeras-kerasnya.

ketika saya melihat keadaan itu, timbul perasaan dalam hati, akan saya uji kebenarannya, maka saya membaca Laa Ilaaha Illallah tujuh puluh ribu (70.000) kali dan tiada seorangpun mengetahui bahwa saya sedang membaca itu, kecuali Allah, dan saya percaya bahwa hadits itu benar, dan orang-orang yang meriwayatkannya semua benar, lalu saya berdoa :

"ALLAAHUMMA INNAA HADZIHIS-SAB’INA ALFAN FIDA'A HADZIHIL MAR'ATI UMMI HADZASY-SYAAB (Ya Allah, sesungguhnya tujuhpuluh ribu (Laa Ilaaha Illallah 70.000) ini, aku hadiahkan untuk tebusan ibu pemuda ini).”.

maka belum selesai perasaan dalam hatiku, tiba-tiba pemuda itu berkata : ya ammi (paman), ibuku telah keluar dari api Walhamdulillah. (Didalam Kitab Irsyadul ‘Ibad Ilasabilirrasyad Asy-Syaikh Zainuddin Al Malibari dan Kitab Raudhur Rayahin Asy-Syaikh Imam Abdullah bin Asad Ali bin Fallah al-Yafii) 

Silahkan diamalkan bagi siapa saja yang mau mengamalkannya, alfaqir ijazahkan ataqoh sugro (penebus dari api neraka) ini bagi siapa saja yang mau mengamalkannya, mengamalkan/membacanya boleh dicicil yang penting dalam seumur hidup bisa berjumlah tujuhpuluh ribu kali.

Allahu a’lam bishawab..

Penghormatan Alam Kepada Khairul Anam (Sebaik-baik Manusia)

Di sudut pagi, Rasulullah tampak sangat ceria dan berseri-seri. Lalu, sahabat menanyakan kepadanya tentang apa yang membuat beliau terlihat gembira. Kemudian Nabi menjawab bahwa Jibril telah datang kepadanya dan berpesan, “Hai Muhammad jika ada seseorang memberi shalawat kepadamu sekali, maka Allah akan bershalawat untuk orang itu 10 kali, dan akupun akan bershalawat untuk orang itu 10 kali.”


Rasulullah bersabda, “Jika seorang berkirim salam kepada Allah untukku, maka Allah akan mengembalikan ruhku kepada tubuhku dan aku akan menjawab salam orang itu.” Lalu para sahabat bertanya, “Jika engkau sudah mati, maka tubuhmu akan membusuk dan hancur, lalu engkau akan kembali ke tubuh yang mana?” Rasul menjawab, “sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada bumi untuk memakan hancur tubuh nabi.” Hadis ini diambil dari hadis shahih, dapat dilihat dalam Fiqhu Sunnah karya Syekh Sayid Sabiq.

Sebagian ulama berpendapat bahwa jasad Nabi masih utuh dan tidak hancur sedikit pun hingga saat ini. Kalau ada seseorang yang bershalawat kepadanya, maka Allah akan mengembalikan ruhnya kepada jasadnya untuk bershalawat kepada orang yang telah memberinya shalawat itu. Dari ruh Nabi itu memancarkan gelombang energi cinta kepada orang yang bershalawat, berziarah dan berdoa untuk dirinya.

Seseorang tidak memerlukan pengetahuan yang tinggi tentang sejarah Nabi dan pengetahuan tentang ajaran Islam untuk mendapatkan energi itu, karena energi Nabi itu akan hadir begitu saja sehingga menimbulkan gejolak emosional yang tak tertahankan. Maka, wajarlah jika kemudian banyak orang menangis terharu ketika mengucapkan shalawat kepada Nabi, apalagi ketika mereka menziarahi kuburan beliau di Madinah.

Tidak hanya Allah, para malaikat dan hamba-hamba-Nya yang saleh saja yang bershalawat kepada Nabi, tetapi semua makhluk yang lain pun melakukan hal yang sama. Alam pun ikut memberi shalawat. Seperti, awan yang selalu melindungi Rasul kemana pun beliau pergi, sehingga beliau tidak kepanasan dalam perjalanan. Peristiwa ini terjadi ketika beliau pergi bersama pamannya, Abu Thalib untuk berdagang ke Syam (Syiria). Ini merupakan bentuk ketundukan dan penghormatan alam kepada khairu anam (sebaik-baiknya manusia).


Demikian juga ketika Nabi akan menggunakan sepatu panjangnya untuk keluar rumah. Tiba-tiba seekor elang besar menyambar sepatu Nabi dan menerbangkan sepatu itu ke udara. Para sahabat yang menyaksikan peristiwa itu langsung berusaha untuk memanah elang itu, karena dianggap kurang ajar kepada Nabi. Namun, Nabi melarang memanah elang tersebut. Bebarapa saat kemudian, elang itu mengayun-ayunkan dan membalingkan sepatu itu di udara hingga keluar ular gurun berbisa dari dalam sepatu. Ular tersebut terlempar ke tanah dan sepatu itu pun jatuh menyusul kemudian. Ternyata, elang pun mampu menunjukan penghormatan dan penyelamatan untuk menjaga Rasulullah SAW. Sang elang tak mau melihat seekor ular berbisa menggigit kaki Nabi, hingga secepat kilat menyambar sepatu itu.

Kemudian, ada pula kisah yang diambil dari hadis sahih yang lain, yaitu ketika Nabi dan Abu Bakar Siddiq, serta dua orang sahabat yang lain tiba di gunung Uhud. Tiba-tiba terjadi gempa beberapa kali di sekitar bukit itu. Lalu, dengan serta merta Rasulullah menghentakkan kakinya ke tanah dan bersabda, “Wahai Uhud, di atasmu ada Rasulullah dan Abu Bakar Siddiq beserta dua orang sahabat yang akan mati syahid. Diamlah! (uskut!)” Tiba-tiba, gunung Uhud pun berhenti bergemuruh. Begitu hormatnya alam terhadap Rasulullah, sehingga mereka diam dan taat mendengarkan perintahnya. Sehingga wajarlah jika dikatakan dalam Al-Quran bahwa Nabi Muhammad diutus ke dunia ini untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Tidak hanya manusia yang tunduk dan taat kepada Rasulullah, tetapi seluruh makhluk di dunia ini mendapatkan rahmat dari diri Rasulullah Saw.

Allah berfirman, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam,” (QS Al-Anbiya [21]: 107). Namun, pada saat yang sama, Nabi Muhammad adalah manusia biasa. Beliau juga makan, minum, tidur, pergi ke pasar, merasa sakit dan bersedih. Nabi dicaci-maki, dihina, dicemooh, dianiaya, dan dilempari kotoran, bahkan berkali-kali hendak dibunuh. Sehingga, tidak alasan sedikit pun bagi manusia untuk mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah sesuatu yang mustahil dilakukan oleh manusia biasa. Jadi, lengkaplah sudah jika Allah berfirman bahwa Muhammad adalah manusia biasa, tetapi dia tidak seperti manusia yang lainnya. Muhammad memang betul-betul menjadi figur yang tiada tandingnya, dan harus diikuti dan ditaati oleh makhluk yang lainnya. Jika, Muhammad bukan manusia biasa, mungkin banyak orang akan berdalih bahwa Muhammad memang patut melakukan ini dan itu, dan tidak bisa diikuti oleh manusia biasa.

Muhammad adalah figur manusia yang sederhana dan bersahaja, meskipun dia mampu mendapatkan apa saja jika dia mau memintanya. Bahkan, beliau tidak segan-segan menolak untuk menerima pemberian dari orang lain, kerana merasa masih banyak orang lain yang lebih membutuhkan, padahal posisinya ketika itu sangat miskin. Beliau sama sekali tidak menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Meskipun orang sudah mengusir, mengancam, menganiaya, dan menghinanya, tetapi Nabi tetap mendoakan orang tersebut agar sadar. Beliau bahkan mendoakan agar dosanya diampuni. Nabi menolak tawaran malaikat untuk membumihanguskan mereka, padahal jika dia mau, maka malaikat tinggal membalikan telapak tangannya. Bahkan, Abu Lahab yang telah banyak sekali menyakiti dirinya, justru dikunjungi Nabi ketika sakit. Muhammad selalu memberi maaf kepada orang yang pernah menyakitinya.

Nabi Muhammad Saw. adalah figur seorang bapak, suami, kakek, pedagang, pemimpin, pendidik, dan penderma yang tiada duanya di muka bumi ini. Wajarlah jika dikatakan oleh Siti Aisyah bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Quran. Keluhuran budi pekerti Nabi terpahat dalam ingat semua sahabat yang menyaksikan sepak terjang beliau, hingga menimbulkan kerinduan yang dalam bagi umat sepeninggalnya. Kita tidak akan menemukan figur beliau sampai kapan pun dan dimana pun, yang ada hanyalah pewaris-pewaris par nabi yang terus menerus memperjuangkan dakwah Islam, selalu mencontohkan akhlak rasul, dan mengajarkan ketakwaan kepada Allah Swt., mereka adalah para wali, ulama, guru-guru dan orang saleh yang mempunyai keimanan dan ketakwaan yang tinggi. Mereka yang kita sebut sebagai pewaris para nabi adalah mereka yang benar-benar jiwa dan raganya diabdikan untuk Allah dan perjuangan rasul-Nya.Tanpa bantuan mereka kita tidak dapat menikmati nikmatnya iman dan Islam yang kita miliki.

Kamis, 12 April 2012

Antara Ali bin Abi Thalib dan Ali bin Ma’shum


Mbah Kyai Ali Ma’shumrahimahullah terlahir dengan kecerdasan istimewa. Pada usia remaja, beliau sudah menjadi amat ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Kefashihan beliau sulit dicari tandingannya. Pada usia 18 tahun, sewaktu mondok di Termas, Pacitan, dibawah asuhan Kyai Dimyathi rahimahullah, Kyai Ali diberi hak untuk mengajar di Masjid pondok. Suatu previles yang tidak didapatkan bahkan oleh santri-santri yang jauh lebih senior. Bukan karena Kyai Ali putera seorang kyai besar (Mbah Kyai Ma’shum, Lasem). Dari segi nasab, Kyai Ali masih “kalah bobot” dibanding, misalnya, Kyai Abdul Hamid (Pasuruan) yang pada waktu itu juga mondok bareng di Termas. Previles itu diberikan sebagai pengakuan atas ke’aliman Kyai Ali. Di kemudian hari, Kyai Ali Ma’shum pun diakui sebagai kyai ahli Ilmu Tafsir paling otoritatif pada masanya.Tidak heran jika, sesudah trio pendiri Nahdlatul Ulama (Hadlratusy Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Abdul Wahab Hasbullah dan Kyai Bisri Syansuri) “habis” dengan wafatnya Kyai Bisri Syansuri, semua kyai yang hadir dalam Kombes NU 1981 di Kaliurang, Yogyakarta, secara aklamasi menyetujui usul Kyai Achmad Siddiq (Jember) untuk mendaulat Kyai Ali Ma’shum sebagai Rais ‘Aam menggantikan Kyai Bisri Syansuri. Semula Mbah Ali menolak. Tapi semua kyai mendesak beliau bertubi-tubi. Dari pagi hingga malam Gus Mus menunggui di kediaman beliau di Krapyak, dengan tekad tak akan beringsut sebelum beliau menyatakan kesediaan. Dengan berlinangan air mata, Mbah Ali akhirnya menyerah.“Aku tak mau jabatan”, beliau berkata, “tapi agama melarangku menghindari tanggung jawab…”Selanjutnya, Kyai Ali Ma’shum pun menjadi patron dari gairah pembaharuan NU. Beliau pelindung utama —kalau bukan satu-satunya— anak-anak muda yang getol dengan pembaharuan, ketika gagasan-gagasan kreatif mereka memanaskan telinga kebanyakan kyai karena dianggap terlampau berani.Barangkali orang masih ingat, bagaimana Kyai As’ad Syamsul Arifin, Situbondo, suatu ketika merasa tak kuat lagi menenggang “keliaran” Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU sehingga hubungan diantara keduanya tegang luar biasa. Kyai As’ad memanggil Kyai Muhith Muzadi ke Situbondo.“Tolonglah”, beliau berujar kepada Kyai Muhith, “sampiyan ingatkan Abdurrahman itu… dia sudah kelewatan”.Kyai Muhith angkat tangan.“Kok saya to, ‘Yai” jawabnya, “mestinya kan yang sepuh-sepuh seperti panjenengan yang lebih berhak…”“Wah, saya ’dak biisa… yang bisa itu Kyai Ali Ma’sum!”Pada kesempatan lain, Kyai As’ad mengundang kyai-kyai berkumpul di Surabaya. Mbah Kyai Ali Ma’shum berhalangan, hanya mengutus Abdurrahman, seorang santri Krapyak asal Pasuruan, membawa surat beliau untuk para kyai yang hadir di Surabaya.“Kalau rapat kyai-kyai itu sudah selesai, serahkan surat ini kepada Kyai As’ad dan sampaikan bahwa saya minta surat ini dibacakan didepan majlis”. Demikian pesan Mbah Ali.

Rapat itu rupanya membahas Gus Dur dengan segala kembelingannya, sehingga akhirnya kyai-kyai sepakat untuk membuat petisi, menuntut Gus Dur mundur dari jabatan Ketua Umum PBNU.Abdurrahman Pasuruan patuh, begitu rapat hendak ditutup, ia beranikan diri menyerobot kehadapan Kyai As’ad untuk menyerahkan surat titipan Mbah Ali berikut pesan beliau. Surat yang kemudian benar-benar dibaca didepan majlis itu ternyata berisi pernyataan tegas bahwa Mbah Ali menolak pemberhentian Gus Dur dari jabatannya. Kyai As’ad tak punya pilihan.“Kalau Kyai Ali Ma’shum ’dak setuju… saya ’dak berani…”Keputusan rapat pun batal.Sebagai Rais ‘Aam, walaupun hanya separuh masa bakti (1982 – 1984), Mbah Kyai Ali Ma’shum berhasil mengantarkan NU melewati masa transisi dari NU-politik ke NU-kultural. Perjalanan menuju deklarasi “Kembali ke Khittah NU 1926” pada Muktamar Situbondo (1984) berhutang sepenuhnya pada jasa kepemimpinan beliau. Itu memang bukan perjalanan yang mudah. Di tengah-tengahnya, konflik besar yang mengguncang antara kubu kyai-kyai dan kubu para politisi (Situbondo versus Cipete) harus dilalui dengan segala pahit-getirnya. Sampai-sampai seorang kyai muda berani melontarkan keluhan berbau protes ke hadapan Mbah Ali.“Selama kepemimpinan tiga Rais ‘Aam sebelumnya, NU adem-ayem, bersatu penuh harmoni”, kata kyai muda itu, “tapi setelah panjengan jadi Rais ‘Aam… kok terjadi perpecahan begini?”.Mbah Ali tersenyum bijak.“Bagus sekali kamu bertanya begitu”, ujar beliau, “pertanyaanmu itu persis yang dilontarkan orang kepada Sayyidina ‘Ali”.Maka Mbah Ali pun meriwayatkan keluhan orang kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, bahwa pada masa kepemimpinan tiga Khulafa Ar Rasyidin sebelum beliau (Saadaatina Abu Bakar, Umar ibn Al Khatthab dan ‘Utsman ibn ‘Affan radliyallahu ‘anhum) tidak terjadi perpecahan ummat seperti pada masa kekhalifahan Sayyidina ‘Ali.Bagaimana jawaban Sayyidina ‘Ali?“Pada masa beliau bertiga itu, yang dipimpin adalah orang-orang macam aku, sedangkan sekarang ini yang kupimpin adalah orang-orang macam kamu!!”

Senin, 02 April 2012

Akal dan Nafsu Menjawab



Dalam keteranganya kitab durratunasikhin, Ketika nafsu ditanya oleh Allah rabbul Izzati tentang dirinya (nafsu) “siapa kamu dan siapa Aku?” ia menjawab dengan seraya menantang “saya, ya saya – kamu ya kamu.” Nafsu tidak tahu siapa dirinya dan siapa yang menciptakanya dalam dirinya terselip rasa sombong, mempertahankan egonya dan takut kehilangan gengsinya dan tidak mau patuh terhadap perintah-Nya, bahkan dirinya merasa paling mulya dibandingkan yang lainnya. Ujian Allah juga diberikan kepada Iblis Laknatullah, di saat Allah merintahkan Iblis Laknatullah untuk bersujud kepada mahluk-Nya yang tercipta dari tanah yang hina (adam As) semua Malaikat mentaati perintahnya tuk bersujud kepadanya hanya Iblis lah yang emoh untuk bersujud kepadanya dan dia (iblis) tergolong orang-orang kafir seraya berkata “aku tercipta dari api sedangkan dia (adam) tercipta dari sebatang tanah.” dengan sombongnya dia (iblis) menegaskan dengan mudah “mulya mana antara api dengan tanah? Ya jelas mulya api” tutur iblis.

Berbeda dengan Akal ketika menerima pertanyaan yang sama, “Siapa kamu dan siapa Aku?” akal menjawabnya dengan tegas dan jujur “Ana A’bdun wa anta Rabbun.” Dengan demikian dirinya merasa mahluk yang lemah (dlo’if) tidak mempunyai reka daya dan kekuatan dan hanya sebagai seorang hamba sahaya. Hal itu sudah menjadi fitrah perbedaanya antara nafsu dengan akal. Ibarat mobil yang dikendarai dua supir yang satu pengen kearah barat yang satu pengen kearah timur jelas keduanya berkontraversi tentang tujuan mereka. Ujian itu tumbuh melekat hingga habis kontrak hidup manusia dan selama hidup di dunia yang fana ini, termasuk kita sekarang, kadang kita tidak terasa kalau disekujur badan kita ternyata di boncengi dua hal yang berlawanan tentang tujuannya antara Nafsu dengan Akal.

Semakin kuat terhadap keinginan untuk memenuhi supir kanan (akal) akan semakin kuat pula keselamatan kita dari jilatan api neraka sehingga patuh dan nurut terhadap perintah-Nya senang ibadah, gemar sodaqoh, dan tidak bosan-bosanya untuk beramal sholeh serta menjalankan Amarmakruf wannahyi a’nil mukar Maka janjinya “Tuuba liman kaana A’kluhu Amiro wahawauhu yakunu atsiro” (beruntunglah orang yang akalnya menjadi pemimpin, sedangkan nafsunya menjadi pengikutnya). Namun kalau kita pasrah menuruti keinginan supir kiri (nafsu) kita akan celaka jatuh kedalam lubangnya dan akan menjadi bala tentaranya/budaknya, selama masih memenuhi keinginanya dia (nafsu) akan selalu berbuat maksiat, durhaka dan berbuat malapetaka yang lambat laun akan menghancurkan dan membinasakan keberadaan manusia di bumi tercinta ini. apalagi pada dekade sekarang semakin mengaktualnya musibah dimuka bumi kita tercinta seperti Tsunami, gempa bumi, longsor, kebakaran hutan lahan gambut, banjir bandang melanda seluruh wilayah, hal itu terjadi karena mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita atau mungkin alam mulai enggan bersahabat dengan kita? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang kata ebiet (dalam lagunya), atau mungkin semua itu efek dari pada ulah manusianya sendiri yang rakus dan senantiasa selalu memenuhi keinginan supir kiri (nafsu) namun para teologi islam sepakat bahwa sebenarnya Jawaban itu ada pada individu setiap manusia. Manusialah yang bisa mengingat dan menengok kembali bahkan kalau bisa merubahnya karena Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum melainkan kaum itu sendirilah yang merubahnya (al qur’an).

Mari kita mengkoreksi (muhasabah annafsi) diri kita masing-masing mari kita lihat film kita yang sedang kita putar sejak kita lahir ke dunia ini adakah acting-acting kita yang perlu disensor atau sudah tidak perlu untuk disensor lagi, mumpung kita masih bisa merubahnya atau mensensornya, mampukah kita meng edit kembali acting-acting kita yang salah? Allah masih memberikan kesempatan lebar-lebar (gold occasion) untuk kita meng edit dan memperbaharuinya kembali Karena kalau kita sudah mati Allahlah yang akan mensensornya atas acting-acting kita kala hidup di dunia dan kitalah yang akan melihatnya atas amal kita waktu hidup di dunia oooh……… sungguh malunya di hadapan sang Maha Kuasa.
Dalam keteranganya (kifayatul atqiya) “Annafsu kattifli” nafsu itu ibarat seorang anak kecil yang selalu meminta minta kepada ibunya sebelum kemaunya itu terkabulkan dia tidak mungkin akan diam. (merengek) ,Misalnya anak kecil yang ingin membeli petasan namun dilarang oleh ibunya pokok sebelum petasan itu di belinya dia akan meminta supaya ibunya membelikanya setelah dibelinya dia tidak bisa untuk menyalakanya kemudian mintalah orang lain supaya menyalakanya sambil dia berkata “nanti om,,,, ku tutup dulu telingaku”, setelah usai dia berkata “gimana om keraskan bunyinya?”, berulang beberapa kali hingga habis lantas apa sih kenikmatan dari pada membeli petasan itu tidak ada yang dinikmatinya paling setelah dinyalakan bunyinya itu itu aja kok, tapi dia merasa bangga dan puas dengan bunyinya itu walaupun telinganya ditutup rapat dan orang lain yang menyalakanya.

Sama halnya keinginan (hasrat) (ego) untuk berbuat hal negatif, sebelum keinginan itu tercapai tidak mungkin akan tinggal diam dia akan berusaha sekuat tenaga untuk melakukanya walaupun itu harus menempuh banyak rintangan dan tantangan, susah payah dan tidak menghasilkan apa-apa bahkan akhirnya merugikan dirinya sendiri tetap terus akan melakukanya sampai keinginan itu tercapai tuntas dia selalu mencari kesempatan untuk mencuri kelengahan orang lain.
Hasrat Nafsu akan selalu meningkat, setelah keinginan awal terkabulkan dia akan mencoba untuk melanjutkan hasrat yang kedua, yang dikira mampu untuk di jalankannya hingga sampai keinginan terakhirnya tercapai. misalnya seorang pencuri pertama mencuri sandal si Imroatun dengan selamat besok dia berpikir lagi gimana caranya mencuri assesorisnya dengan selamat langkah kedua selamat besoknya lagi dia berpikir lagi gimana caranya mencuri Imroatunya. Itulah bujukan dan rayuannya yang aduhai manisnya.

Sungguh celaka orang yang patuh dan menuruti keinginan (hasrat) supir kiri (nafsu) jatuh dalam neraka-Nya, Ia akan merasakan jilatan api siksa-Nya. Na’udzubillahi min dzalik wa Allahumma Ba’idna min Dzalik. Makanya ada pepatah arab mengatakan “ sehebat-hebatnya manusia bukanya manusia yang pintar berkelahi hingga semua manusia kalah dengannya tapi sehebat-hebatnya manusia adalah manusia yang bisa menahan godaan hawa nafsunya (egonya). di tegaskan lagi rasulullah pernah bersabda kepada sahabatnya seusai perang badar beliau berkata
“kita telah pulang dari perang yang kecil, menuju perang yang besar! di tanya oleh salah satu sahabatnya lantas perang apa yang terbesar ya Rasulullah padahal kan kita sudah mati-matian dalam melawan musuh yang begitu besar skala jumlahnya, Rasulullah menjawab Perang melawan hawa nafsu.”

Dikuatkan lagi dengan firman Allah SWT dalam Alqur’an “dan barang siapa yang takut hatinya kepada Allah SWT (maksiat dan inkar terhadap perintah-Nya) dan menahan godaan nafsunya maka syurgalah tempat yang mulya baginya.”
Semoga kita senantiasa selalu dilindungi dan dijauhkan oleh Allah dari godaan dan rayuan hawa nafsu yang selalu meng iming-iming kita dengan manisnya kenikmatan dunia sehingga kita termasuk orang-orang selamat dan bahagia serta tergolong para penghuni syurga bersama para Ambiya, Auliya, Syuhada wassholihin ajma’in Amin..

Salah Satu Karomah Syekh Abdul Qodir Al-Jailani r.a.


Diriwayatkan bahwa Syekh Abdul Qodir pada waktu melewati suatu tempat, beliau bertemu dengan seorang umat Islam yang sedang bertengkar dan berdebat dengan seorang umat Nasrani. Beliau kemudian mendatangi kedua orang tersebut. "Ada apa gerangan hingga kalian menjadi tontonan di sekitar kalian?",tanya Syekh.
Kata seorang muslim,"Sebenarnya kami sedang membanggakan Nabi kami masing-masing, siapa diantara Nabi yang paling baik dan saya berkata kepadanya bahwa Nabi Muhammad saw yang paling utama. Sedangkan orang Nasroni mengatakan bahwa Nabi Isa yang paling sempurna".
Syekh bertanya kepada orang Nasroni,"Apa yang menjadi dasar dan apa pula dalilnya, kamu bisa mengatakan bahwa Nabi Isa lebih sempurna daripada Nabi yang lainnya?". Lalu orang Nasroni itu menjawab,"Nabi Isa mempunyai keistimewaan, beliau bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati". Syekh melanjutkan lagi pertanyaannya,"Apakah kamu tahu bahwa aku ini bukan Nabi, aku hanya sekedar penganut dan pengikut Agama Nabi Muhammad saw?". Kata orang Nasroni,"Ya benar saya tahu". Lebih jauh Syekh bertanya lagi,"Kalau sekiranya aku bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati, apakah kamu bersedia untuk percaya dan beriman kepada Agama Nabi Muhammad saw?". Baik, saya mau beriman kepada Agama Islam", jawab orang Nasroni itu. "Kalau begitu mari kita mencari kuburan, carikan saya kuburan yang paling tua dan paling angker",kata Syekh Abdul Qodir. Setelah mereka menemukan sebuah kuburan dan kebetulan kuburan itu sudah tua, sudah berusia lima ratus tahun.
Lalu dengan karomah yang beliau miliki, Syekh mendeteksi kalau kuburan yang dituju dulunya semasa hidupnya adalah penyanyi. "aku akan menghidupkan orang tersebut seperti semasa hidupnya (yaitu seorang penyanyi). Syekh mengulangi lagi pertanyaannya,"Nabi Isa kalau akan menghidupkan orang yang sudah mati bagaimana caranya?". Orang Nasroni menjawab,"Beliau cukup dengan mengucapkan,"Qum! bi-idznillah", artinya : "Bangun kamu dengan izin Allah". "Nah sekarang kamu perhatikan dan dengarkan baik-baik", kata Syekh, lalu beliau menghadap pada kuburan tadi sambil mengucapkan,"Qum! bi-idzni, artinya : "Bangun dengan izin ku". Mendengar ucapan itu orang Nasroni kaget dan heran dan kuburan itu terbelah dan bangunlah mayat dari kuburan sambil bernyanyi. Memang pada waktu hidupnya mayat itu seorang penyanyi. Melihat dan menyaksikan peristiwa yang aneh itu, seketika itu juga orang Nasroni berubah keyakinannya dan beriman masuk Agama Islam.